Wa Sarimba

 

Ilustrasi: Ais Nurbiyah 
  

Nenek membuka tas merah dan menghitung kembali uang yang telah disiapkan untuk membeli lemari pendingin (kulkas). Hanya 1,7 juta uang di tas merah itu sementara harga kulkas Panasonic yang diincar nenek seharga 2,2 juta lebih. Saya lalu memberikan jatah uang jajan saya, 500 ribu rupiah untuk ditambahkan. 

Setelah 24 tahun, nenek mengganti lemari pendinginnya. Seorang spesialis kulkas yang datang dari kota untuk sengaja dipanggil memeriksa kondisi kulkas nenek, Kabar buruknya, kulkas nenek sudah tidak dapat diselamatkan. “Wah kulkas lama, mungkin usianya sudah 30 tahun. Sudah tidak bisa Nek dipakai karena mesinnya rusak total," katanya.  Nenek menatap laki-laki yang sepertinya berusia 40 tahun awal dan mengatakan bahwa memang kulkas itu telah dibeli dari tahun 2000. Produksinya diperkirakan bahkan lebih lama, barangkali seusia dengan saya (30 tahun). 

Saya menatap nenek, sepertinya tak ada raut kecewa dan sedih. Nenek memahami bahwa kulkas sudah menemaninya lebih dari cukup. Dari rumah yang dihuni bersama, anak, dan suami, hingga anak-anaknya menikah dan berganti rumah, suami meninggal dunia, dan tinggal lah nenek sendiri di rumah bersama si kulkas. 

Atas saran spesialis kulkas, sebaiknya kulkas nenek diganti dengan merk yang sama, walau sudah dengan keluaran nama yang baru. “Sekarang namanya Panasonic Nek, ini kulkas nenek versi jadul merknya masih National.” 

Dulu nenek membeli kulkas bersamaan dengan keberangkatannya ke tanah suci bersama suami. Pada tahun 2000, ia membeli kulkas, televisi, dan menyetor haji setalah tanah warisannya di kampung dibeli oleh perusahaan tambang yang bernilai sekitar 100 juta lebih pada masa itu. 

Namun, ceritanya menjadi lebih menarik untuk saya setelah mengetahui bahwa tanah tersebut bukanlah warisan  dari orang tua nenek, melainkan dari seorang perempuan yang tidak memiliki anak, bernama Wa Sarimba. Ikatan keluarga nenek dengan Wa Sarimba juga tidak terlalu dekat tapi hubungan batin merekalah yang menyatukan. Wa Sarimba memiliki seorang suami tapi tidak dikaruniai anak. Ia juga adalah anak tunggal dari orang tua yang memiliki cukup banyak tanah di kampung sehingga semua warisan orang tuanya hanya diberikan kepada Wa Sarimba. 

Katanya banyak yang tidak suka Wa Sarimba karna wajah dan tubuhnya yang jelek, hitam, dan tampak tidak terurus. Sehari-hari ia adalah petani, namun di masa tuanya, Wa Sarimba banyak menggantungkan diri pada nenek. Setiap kehabisan uang, Wa Sarimba mendatangi nenek, begitupun saat sakit, nenek datang menemani dan merawatnya. 

Wa Sarimba hanya mendatangi nenek. Wa Sarimba hanya meminta uang kepada nenek. Walau tidak pernah mengatakan, belakangan kita tahu bahwa itu adalah langkah yang tepat untuk menghindari perselisihan di kemudian hari. “Kamare, de ku lokka ri silessureng nu lainge, nasaba wetteako sisala-salai rimunri na.”(Kamare- panggilan nenek, saya tidak pergi meminta bantuan ke saudara mu yang lain, karena saya tidak mau kalian bertengkar kelak di kemudian hari.

 

--

Suatu sore, datang seorang pemuda membawa pesan kepada nenek bahwa Wa Sarimba memanggilnya. Malam itu, Wa Sarimba mengatakan bahwa ada sebuah tas berisi dokumen-dokumen tanah yang harus nenek ambil. Setelah menyampaikan pesan, Wa Sarimba pamit pergi ke kamarnya dan bersiap memberangkatkan diri ke tempat Sang Abadi. Itu adalah malam kepergian Wa Sarimba selamanya. 

Warisan tanah dari Wa Sarimba yang cukup luas semuanya jatuh ke tangan nenek. Wa Sarimba sebenarnya memiliki keponakan yang dalam ikatan keturunan lebih dekat dan dalam hitung-hitungan materil lebih layak mendapatkan warisan itu. Nenek mendatangi keluarga dekat Wa Sarimba dan secara transparan mengatakan ada warisan diberikan kepada Nenek. Sebagian diseragkan nenek, walau tak ada satupun yang memintanga. Tanah itu lah yang kini ditempati membangun rumah, berkebun, tempat bermain anak-anak, dan dijual nenek untuk keberangkatannya haji sekaligus memberi barang elektronik di rumahnya. 

Rusaknya kulkas nenek membawa saya pergi ke masa sebelum saya lahir.  Pada cerita Wa Sarimba yang belum pernah saya temui namun warisannya telah saya nikmati setiap pulang ke kampung. Setiap tahun Nenek selalu menggelar selamatan khusus untuk mendoakan orang tuanya dan Wa Sarimba. 

0 komentar