Lebih Jauh dari Eksotisisasi Mistisme Timur: Review Buku "Parade Hantu Siang Bolong"

        

Sesuatu yang disebut mistis, gaib, ataupun klenik, seperti diketahui bersama sangat dekat dengan kehidupan orang-orang negeri ini. Bukanlah peristiwa langka untuk bisa menemukan praktik-praktik dan kepercayaan-kepercayaan itu dianut oleh lingkungan sekitar. Namun, sayangnya sesuatu yang amat dekat itu seringkali berjarak sebab dipandang eksklusif, dan saking sakralnya tak bisa terjangkau. Akan sangat sulit menemukan pembahasan menyoal mistisme sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari realitas, sama halnya ketika kita membahas sepak bola, pemilu, kriminalitas, dan sebagainya. Fenomena keterasingan itu jika digambarkan persis dengan kejadian seorang pawang hujan yang menampilkan ritualnya di suatu sirkuit balapan. 
        Semua orang memuja-muja pawang hujan itu beraksi dengan heboh. Lalu, kita menemukan komentar dalam barisan penonton, “inilah wajah Indonesia dengan budaya timurnya”. Kalimat yang bertendensi mendefinisikan suatu budaya melalui praktik yang ‘agung’ yang mereka sendiri tidak mampu melihatnya dari dekat, alih-alih menjalankannya. Itulah yang disebut dengan eksotisisasi.  
        Tahun 2018 lalu, saya bertemu satu reportase menarik di internet berjudul “Ayahku Seorang Penghayat, Tapi Dia Tak Bisa Dimakamkan Sesuai Kepercayaannya”. Tulisan ini merekam perjalanan penulis meliput pemakaman ayahnya yang seorang penghayat. Judulnya membuat saya tertarik meng-klik hingga tanpa terasa, saya telah berada di akhir halaman.
         Saya belum pernah membayangkan, bagaimana meliput pemakaman ayah sendiri, dengan tumpukan rasa sedih dan getir, sampai saya menemukan tulisan ini. Karena ketertarikan yang dalam, saya mencari tahu siapa penulis, dan mencoba menjangkaunya di media sosial. Hingga dua tahun berlalu, tulisan ini mengendap dalam memori hingga suatu hari, tanpa ada rencana, saya bertemu dengan penulisnya dalam suatu perjalanan yang amat berkesan. 
        Kami dipertemukan dalam pekerjaan pendokumentasian kehidupan para bissu di Sulawesi Selatan. Dari pertemuan itu, saya semakin percaya, bahwa sesuatu yang kita cari, juga ikut mencari kita. Sepertinya kita dipertemukan dalam peristiwa yang terjadi secara kebetulan, tapi sebenarnya itu adalah kumpulan memori, pencarian, dan petunjuk yang menuntun pada jawaban. 
        Dari pertemuan itu, saya diberikan satu buku oleh penulisnya langsung, Titah AW berjudul Parade Hantu Siang Bolong (2020), yang berisi kumpulan reportase jurnalistik menyoal mitos dan lokalitas. Buku ini berisi 16 reportase yang versi suntingnyaa telah diterbitkan pada salah satu media online di Indonesia. Buku diterbitkan oleh penerbit Warning Books. Buku juga memuat tulisan yang membuat saya pertama kali bertemu dengan Titah AW, tentu dalam versi belum disunting dengan judul berbeda, “Bagaimana Mereka Memakamkan Bapak yang Penghayat”. 
        Buku Parade Hantu Siang Bolong adalah oase dari keringnya pembahasan mistisme timur yang mendalam. Melalui tulisan-tulisan Titah AW, kita dapat melihat bagaiaman persoalan mitos dan lokalitas yang terkait dengan mistisme ini bekerja dengan segala kompleksitasnya dalam suatu dinamika masyarakat yang penulisnya sebut sebagai realisme magis. Mistisme, lokalitas, mitos, alien, dan kepercayaan, dibahas lugas dengan pendekatan jurnalistik. 
        Titah AW turun ke lapangan, mengikuti serangkaian kegiatan, bahkan untuk menemukan jawaban, ia menyusuri gang-gang sempit, untuk menemukan informasi-informasi yang dibutuhkannya, misalnya ketika Titah AW mendatangi pabrik rumahan penghasil ciu di Sukoharjo. Sebagai praktik yang illegal, tidak mudah mendapatkan narasumber yang mau terbuka, namun buku tetap menyuguhkan informasi yang lengkap dari berbagai narasumber. 
          Pengalaman mistis dalam buku ini juga menonjol, ambil contoh tulisan pertama dalam buku Parade Hantu Siang Bolong, “Pengalamanku Ikut Pesta Antar-Dimensi Bareng Roh Halus di Ebeg Banyumas” Melalui tulisan tersebut, kita dibawa merasakan, mendengar, dan melihat bagaimana anak muda yang kecanduan ebeg (upacara pesta trance/ kesurupan) di Banyumas. Melalui reportase Titah AW, kita melihat bahwa mistisme bukanlah hal yang menakutkan, melainkan suatu perayaan. 
        Para pemuda menyediakan tubuhnya sebagai medium ke dunia lain (gaib). Tidak hanya menampilkan mistisme yang tidak menakutkan, buku ini juga tidak lupa menampilkan bahwa mistisme lahir tidak hanya dari ruang suci dan sakral, bahwa kehadirannya semata-mata sebagai warisan leluhur, namun juga sebagai ruang eskapis dari masalah hidup. 
        Ketika akses kafe terbatas, maka warisan nenek moyang ini menjadi jalan keluar bagi anak muda untuk mewujudkan gelora kebebasan dan hasrat menampilkan diri. Pengalaman mistis itu juga ditampilkan dalam reportase lainnya, seperti “Prosedur atau Petunjuk Dukun, Mengikuti Usaha Tim SAR Mencari Orang Hilang di Gunung”, “Membaca Pesan Semesta Lewat Tarot”, dan “Hantu-hantu Seribu Percakapan: Pameran Site-Spesific yang Membongkar Lapisan Sejarang Kaliurang”.
        Membaca buku ini menjadikan saya semakin optimis dan percaya bahwa sesuatu yang selama ini dianggap tidak logis, dongeng, dan artefak budaya juga mampu dibahas lebih dalam, seperti kita membahas persiapan pemilu di tahun 2024. Titah AW membuka jalan dan membuktikan bahwa persoalan mistisme hidup dan terus bertransformasi utamanya di dunia yang semakin modern. 
        Kehadirannya saat ini bukanlah semata-mata berasal dari ruang suci, melainkan dipengaruhi oleh budaya masyarakatnya, aturan dalam negara, perubahan iklim, hingga massifnya tekhnologi digital. Anda mungkin tidak pernah membayangkan sebelumnya, bagaimana seorang dukun melakukan proses pengobatan melalui telepon seluler? Atau seorang pasangan muda yang belum dikaruniai anak datang ke pemakaman tua untuk berdoa.                 
        Percayalah, dengan melihat lebih dekat sesuatu yang dianggap mistis itu, kita juga bisa menemukan banyak cerita dari orang-orang yang tidak terlepas dari masalahnya di rumah, sekolah, lingkungan masyarakat,  kantor, bahkan dalam ruang-ruang privat seperti kamar tidur. Suatu realitas yang sesungguhnya sangat dekat dengan hidup kita saat ini sebagai bagian dari masyarakat ataupun individu. 


0 komentar