Setelah Malam itu ...
Malam merayakan lampu-lampu jalan, angin kota, bau asap kendaraan, teriakan ibu-ibu penjual mainan, tawa para supir angkot dan bentor yang sejak pagi menyusuri jalan untuk mengais rezeki.
Malam itu, saya menyanggupi bertemu dengan seseorang. Mobil yang saya kendarai melaju di angka rata-rata 40 km/jam. Dia tiba lebih dulu dan kami bertemu di suatu keramaian. Saya memesan kopi dan dia memesan jus. Bagi saya itu pertemuan pertama kali. Tapi, baginya, itu adalah pertemuan kedua. Kita pernah bertemu sebelumnya di kedai buku. Tapi, apalah saya yang pelupa dan introvert di tengah kerumunan orang.
Kami mengobrol banyak hal, mulai dari buku, perkembangan youtube yang sedang saya rintis, pengobatan herbal, kesibukan masing-masing, tentang klenik-klenikan, ambisi dan cita-cita. Rasanya, malam itu, saya baru saja berbicara dengan seseorang yang telah lama saya kenal. Kenapa begitu nyaman mengobrol, bahkan di saat pertemuan pertama?! Apakah sebelumnya kita pernah akrab di suatu masa yang entah kapan dan di mana? Ataukah karena memang telah lama saya tidak bertemu dengan seseorang yang dengannya saya dapat mengobrol banyak hal tanpa diliputi kekhawatiran dan ketersinggungan? Entahlah. Tapi, kita telah mengobrol banyak malam itu, bukan? Semoga tidak hanya saya yang senang, tapi dia juga senang mendengar dan membagi ceritanya.
Saya memutuskan pulang, di saat lampu-lampu kota masih terang. Perjalanan ke desa nenek masih panjang. Saya harus menempuh jalan sepi, kurang lebih setengah jam untuk sampai di rumahnya. Dia juga perlu menempuh perjalanan kurang lebih dua jam untuk sampai ke kotanya. Kami berpamitan dan bersalaman. Sesaat kemudian, hati saya menjadi hangat.
Malam itu berlanjut ke malam-malam yang lain. Obrolan-obrolan semakin banyak dan meluas. Kami semakin akrab. Seperti halnya, teman dekat, kami saling bertukar kabar. Bercerita apa saja yang kami lakukan sepanjang hari. Dia tahu, jadwal saya memasak, meracik obat untuk Ibu, memijat ibu, dan aktivitas yang lain. Dia membagi obrolannya di toko buku bersama temannya, film apa yang sedang ditonton, buku apa yang disukainya, dan sebagainya.
Seperti umumnya orang yang sedang berkenalan, kita berusaha memahami emosi masing-masing. Berusaha menangkap irama perasaan dan pikiran. Mengatur, membentang, dan merenggangkan jarak adalah salah satu cara saya tetap bertahan. Saya tahu, ada saat, dia bekerja keras berkomunikasi dengan saya secara intens di saat sebenarnya dia sedang ingin sendiri. Tapi, kadang, saya juga merasa diabaikan.
--
Siang itu, kami bertemu kembali. Tapi, saya tidak menemukannya sebagai seseorang yang malam (itu) saya jumpai. Dia sedang mengalami fase burn out, psikis dan fisik. Saya berusaha memahami kondisi itu, tapi sialnya, sehari setelah pertemuan, saya sedang kalah oleh ketakutan-ketakutan di kepala. Saya sedang dikuasai dan dikontrol oleh ego dan ekspektasi yang tak berdasar.
Setelah malam itu, komunikasi kami berjalan sangat buruk. Sepertinya, dia juga mengalami hal serupa. Lalu, saya ingat pernah bercerita tentang "pelajaran melepaskan". Tentang hal-hal yang hanya bisa kita usahakan, tapi tidak bisa kita kontrol. Tentang kesalahan yang harus kita perbaiki, tapi perkataan hati tak pernah berbohong. Jika ia meminta melepaskan, maka lepaskanlah. Memaksakan sesuatu pada akhirnya hanya akan merugikan kita berdua. Jika, sesuatu itu belum saatnya terjadi, biarkanlah mereka bertemu jalannya. Ini bukan waktu yang tepat.
Tapi, apapun itu, semoga kita tidak pernah saling menyakiti untuk alasan apapun. Saya senang kita bisa saling mengenal dan menemukan. Terima kasih, ka!
Semoga hal-hal baik di antara kita tetap mengalir.
0 komentar