Surat untuk Banu

    Halo mba, lama banget kita tidak ngobrol. Ada banyak hal yang terjadi sepulang saya dari Jakarta. Saya masih sering memerhatikan sosial mediamu. Sepintas terlihat baik dan sehat. Tentu, saya berharap begitu adanya.

    Saat ini, saya tinggal di Pangkep. Di sebuah desa kecil di Sulawesi Selatan. Namanya, desa Tabo-Tabo. Saya memutuskan pindah ke sini untuk menemani nenek yang tinggal sendiri di rumahnya. Dia adalah nenek perkasa, mirip neneknya Moana. Jalannya cepat, tubuhnya agak gempal dan bungkuk. Saya selalu senang mengobrol banyak dengannya karena ia punya ketegaran luar biasa. Ia juga selalu mengajari bacaan dan doa dalam bahasa Bugis. Saya sungguh mencintainya. Kami tinggal di tempat yang masih sangat desa. Masih asri dan sejuk. Kalau saja, tak ada pabrik semen dan marmer, kampung itu pasti berkali-kali lipat lebih dingin. Halaman rumahnya sangat luas. Dia punya sawah dan kebun dan ternak. Ada sapi dan ayam. Sekarang, saya ikut nanam beragam bunga di pekarangannya. Bunga-bunga untuk hiasan, juga jenis bunga yang bisa diseduh menjadi teh. Ada tanaman lain juga sih. Hari Sabtu nanti, kami berencana menanam empon-emponan dan makanan pokok di kebun nenek seperti singkong, bersama teman-teman yang tinggal di Makassar. Jarak dari Makassar ke desa nenek hanya dua jam. 

    Nenek saya punya empat anak, tiga anaknya PNS, anak tertuanya adalah Ibu saya. Satu anak laki-lakinya melanjutkan bertani. Tapi, pertanian bagi mereka bukan sebuah nasib baik. Pupuk, bibit harus dibeli dengan harga yang mahal. Sangat sedikit pemuda yang mau bersawah, nenek yang sudah janda sangat kesusahan mengurusi sawahnya karna tidak ada penggarap. Anak muda lebih memilih menjadi karyawan perusahaan semen dan marmer dengan gaji dan bonus yang jelas setiap bulan. Belum lagi, kalau panen, beras dibeli murah oleh tengkulak. Saya yang sekolah tinggi-tinggi, yang selalu dibanggakan orang-orang desa seharusnya bisa menjelaskan kalau bertani sama halnya dengan memberdayakan bumi Tuhan. Siapapun yang menekuninya harusnya bisa lebih mudah hidupnya. Kalau tak ada yang berpikir begitu, tidak ada yang akan bertani, kita mau makan apa? Manusia menghirup apa? 

    Nenek saya selalu bilang, bahwa dia menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi supaya mereka tidak menjadi petani susah seperti dirinya. Duh, sungguh miris mendengarnya. Penguasa melumpuhkan para petani, makanya yang sudah hidup bertahun-tahun dengan menjadi petanipun, berluhurkan petani, juga masih mengutuki hidupnya. Sepertinya, saya harus tahu ilmu bercocok tanam yang baik, sehingga menanam pada akhirnya tidak hanya untuk menyuapi mulut orang-orang yang tak pernah merasa cukup. Mereka membeli hasil pertanian dengan harga yang sangat murah dari cucuran dan keringat dan kepolosan para petani, lalu menjualnya dengan harga yang sangat mahal kepada para elit. Mungkin, orang-orang yang sekolahnya tinggi sampai ke luar negeri sudah harus turun, agar para tengkulak lebih segan saat memberi harga. Biar kita tidak dibodoh-bodohi terus-menerus. 

    Cerita lainnya, saya baru saja membuat kombucha jahe dan kunyit. Minuman ini bisa jadi pengganti minuman f*nta atau spri*e yang kadar gulanya sangat tinggi. Kombucha punya rasa khas, bersoda, dan bagus untuk tubuh, utamanya pencernaan. Rasanya sangat enak dan saya ingin sekali kamu mencicipi kombucha hasil racikan tangan saya. 

    Saat ini, saya sedang berikhtiar nemulai hidup sehat dengan mengatur pola makan. Saya mau membuat minyak kelapa atau vco agar saat mengonsumsi goreng-gorengan ya tetap sehat, apalagi disini banyak kelapa. Ayam potong diganti dengan ayam kampung. Banyak minum air putih, mengganti obat dokter menjadi herbal dan alhamdulillah Bapak saya yang sejak lama mengidap penyakit maagh, perlahan kembali normal setelah mengonsumsi obat herbal dari pondok. Saya juga sering meracik wedang kedawan untuk Ibu. Wedang kedawan ditambah dengan daun salam karena Ibu punya kolestrol dan asam urat. 

    Bahan masakan sehari-hari masih lebih banyak yang dibeli. Suatu hari, doain ya, kalau saya mau masak, semuanya tinggal dipetik di kebun. Kalau kamu datang ke sini, kita bisa melakukan perjamuan makan yang sakral. Haha.  

    Oh iya, tadi sore, kami memetik kopi di kebun dan pekarangan rumah. Kata nenek, agar mudah diolah, sebelum dikeringkan, kulitnya dipecahkan dulu. Cara seperti itu memudahkan saat ditumbuk karena bijinya sudah sangat kering. 



    Semoga surat ini dapat menjadi kabar baik di hari ulang tahunmu dan saya akan selalu berdoa untuk kebahagiaan dan keselamatanmu. Selamat ulang tahun mbak. Sampai jumpa di mana saja. 

4 komentar

  1. Surat yang memebahagiakan, penuh harapan mulia dlm setiap kata, tak harus mengutuk keadaan dan pemikiran lalu.. Harapan adalah doa dan laku

    Doaku semoga masih diijinkan u berjumpa dan bercengkrama dengannya nek moana... Berpeluh dan bergembira di taman kehidupan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Beliau telah mengundangmu. Semoga dipertemukan segera :')

      Hapus