Agustus: Sebuah Surat...

 


    Saya menyambut Agustus dengan duka. Juli menyisakkan luka tapi saya selalu ingat kata seorang guru, "katanya, hanya luka pintu menuju dewasa." Ini bukan awal Agustus yang terbaik, tapi saya suka surat. Salah satu sumber kebahagiaan saya ialah menerima surat dan berkirim surat. Dulu, saat patah hati dengan seorang laki-laki, teman perempuan mengirimi surat. Saya merasa setiap kata-kata dari surat itu adalah guyuran air yang menyirami hati saya yang gersang. Sangat dalam dan menyejukkan. 
   
     Tadi subuh, Banu berkirim surat, padalah baru saja, saya ingin memintanya berkirim surat setiap saya ulang tahun. Haha, ulang tahun saya masih 11 bulan lebih, tapi ini kabar baik. Banu berkirim surat lagi karena dia sedang berada dalam kondisi yang tidak baik, kondisi mentalnya menurun ketika dia mulai menghadapi banyak masalah. Saya pikir, sangat wajar ketika dia marah dengan kejadian itu. Dia mengaku, sulit mengontrol kemarahannya. Padahal, dengan meluapkan dan bercerita, sebenarnya dia sedang berusaha mengontrol rasa marahnya. Saya pikir, dia hanya butuh waktu, untuk kembali tenang dan memulai aktifitas yang lebih menyenangkan di rumah dan kantor. Berkebun bersama suaminya, Ben dan mendengarkan musik sebelum tidur.
   
     Saya selalu senang, setiap Banu bercerita tentang kehidupan pernikahannya dengan Ben. Luka yang dirasakan Banu di masa lalu mendewasakan hubungan mereka sebagai pasangan. Kata Banu, ketika ada masalah, mereka lebih memilih berpelukan dibandingkan memperdebatkannya. Setidaknya, saya bisa melihat potret rumah tangga yang bahagia dari banyak kisah sedih keluarga teman-teman saya. 
   
     Seorang teman bercerita tentang suaminya yang melakukan kekerasan fisik dan memakai narkoba. Teman saya sudah tidak bisa bertahan pada kondisi itu, tapi di saat ingin berpisah, keluarganya masih menyesalkan keputusannya: Kau yang memilih menikah dengan dia, kenapa sekarang mau cerai. 

Saya sungguh berharap mereka segera berpisah.
    
    Cerita teman saya seperti memvalidasi kekhawatiran saya pada pernikahan. Saya sedih mendengar ceritanya, tapi di sisi lain, saya merasa lega tidak memutuskan cepat-cepat menikah hanya karena tuntutan umur dan desakan budaya. Tentu, saya tidak perlu mempermasalahkan pernikahan, ini soal kesiapan dan bertemu orang yang tepat saja. Tapi, masalahnya apakah saya sudah siap? 
   
     Empat hari lalu, saya menerima berita yang lebih menyesakkan lagi. Suami sahabat saya, meninggal dunia karena covid. Sahabat saya, Linda, juga menikah muda. Di usia yang seperti saya, dia sudah punya tiga anak. Seminggu lalu, ia lahiran anak ketiga dan sang suami tidak pernah melihat anak itu sampai ajal menjemputnya sebab suaminya lebih dulu terbaring di ICU. 
    
    Ada rasa sakit sekaligus ngilu mendapat kabar itu. Seperti, saya tidak dapat membayangkan, bagaimana Linda menjalani malam-malamnya. Terbangun dengan rasa sedih yang menumpuk-numpuk, tapi di saat yang sama dia harus tegar, tak boleh rapuh di depan anak-anaknya. 
    
    Kondisi saya saat ini, mungkin lebih baik. Saya punya banyak kekhawatiran dan rasa takut juga. Setiap orang berperang dengan dirinya masing-masing. Saya tidak tahu mengapa saya sulit menceritakan masalah dan rasa sakit pada orang lain. Barangkali, karena saya masih sulit menerima kesakitan itu. Entahlah. 

    Ini Agustus yang tidak begitu menguntungkan, bagi banyak orang. Ini klise, tapi kita belum punya alasan untuk tidak bersyukur sebab masih bisa diberi rasa dan pikiran. Tuhan membiarkan kita hidup hari ini, meski air mata saya belum kering sejak semalam. Saya tidak punya masalah berarti beberapa waktu ini, tapi sejak semalam ada kesedihan yang memanggil-manggil. Tapi, saya mulai sadar, bukannya saya punya hari-hari yang menyenangkan dan harus saya syukuri. Besok saya bertemu nenek dan dia akan mengajarkan doa-doa dalam bahasa Bugis. Di sore hari, saya bisa naik sepeda bersama sepupu. Di waktu lain, saya bisa ke kebun, bertemu sayuran, gunung, sapi, sungai kecil di pinggir sawah nenek. Saya mulai memejamkan mata dan memintanya segera terlelap. Tapi, kemudian sebuah mimpi buruk membangunkan saya. Lalu, beberapa saat kemudian, saya menerima surat dari Banu. 

    Saya belum mau mengutuki hidup. Saya masih ingin memperjuangkan hidup ini apapun kondisinya. Dengan berani dan yakin!

2 komentar