TRAGEDI LORONG JANDA
Sejak kecil hingga SMP, saya hidup di suatu pemukiman yang berjarak hanya beberapa meter dari sungai. Oleh karena itu, kami menjalin hubungan yang akrab dengan banjir dan bertemu setidaknya sekali setahun. Bagi kami yang kanak-kanak, banjir adalah kolam permainan. Kami memutar otak untuk menemukan permainan yang bisa dinikmati bersama saat hujan dan banjir datang. Kami bermain seluncuran, membuat perahu dari gabus sisa tempat penyimpanan ikan para nelayan, dan permainan lainnya. Di pemukiman itu, pada awal tahun 2000-an, 80 persen mata pencaharian masyarakatnya adalah nelayan.
Saya mengingat bagaimana perahu besar itu dibuat oleh nelayan di pinggir sungai. Warga melakukan perayaan dan selamatan saat perahu pertama kali berlayar. Sebelum masa pelayaran, para istri menyiapkan makanan di rumah dan sebagiannya dialirkan di sungai. Konon, itu dipersembahkan untuk penjaga sungai yang berwujud buaya dan ikan.
Ingatan saya tentang sungai tidak berhenti di situ, kami pernah menaruh trauma yang besar saat salah seorang anak di kompleks kami tenggelam dan berhasil ditemukan dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Dia adalah anak perempuan satu-satunya yang telah berpuluh-puluh tahun didambakan oleh orang tuanya. Sampai sekarang bayangan anak itu terekam jelas di kepala saya.
Pada Piala Dunia 2006, daerah kami terkena banjir bandang. Bencana itu masuk dalam kategori banjir nasional karena menelan ratusan korban jiwa. Kompleks kami salah satu yang tenggelam. Bapak saya yang waktu itu memilih menonton pertandingan piala dunia dibandingkan ikut mengungsi bersama kami di tempat yang lebih tinggi hampir tak terselamatkan. Ia baru menyadari bahwa banjir semakin tinggi, ketika air sudah meluap hampir menggenangi televisi yang ditontonnya. Hujan deras terus terjadi dan air semakin tinggi menyentuh pertengahan bangunan rumah. Sampai sekarang saya tidak pernah ingin mendengar bagaimana cerita bapak saya bisa selamat karena entah trauma atau belum siap menerima kisahnya.
Saat itulah pertama kalinya saya melihat banyak wartawan yang turun membuat berita, memotret kampung kami dan para korban bencana. Beberapa pekan kami tidak sekolah dan bertemu teman-teman setiap siang/sore hari saat ada bantuan makanan. Tapi, kami tetap bermain dengan penuh suka cita. Para orang tua, dengan pelan dan perlahan membenahi huniannya kembali. Kami anak-anak justru riang gembira mencari kayu bakar. Tapi, selama beberapa hari pasca kejadian, kami juga mendengar angka korban jiwa yang ditemukan semakin bertambah. Gambaran di kepala saya saat ini jika mengingat kejadian 17 tahun lalu itu, hanyalah lumpur dan kayu.
Sungai yang menjadi tempat berangkat para nelayan telah memberikan kami sekian kabar buruk. Ayah teman saya dalam kepergiannya "ma' tasi" harus merelakan nyawanya di tengah samudera karena badai yang menerjang. Tragedi itu tidak sekali dua kali terjadi, kami sudah beberapa kali melaluinya. Dulu, tentu saya belum mengerti jika kehilangan suami bukan hanya soal kesedihan dan air mata yang tumpah. Barulah saat dewasa, saya mengetahui bahwa itu juga menyangkut persoalan ekonomi, stigma masyarakat tentang janda, trauma anak perempuan yang kehilangan ayahnya, dan banyak lagi.
Tahun 2022, adalah tahun yang sibuk dan berombak. Saya menulis catatan itu untuk menutup tahun 2022. Berombak mungkin karena tragedi itu kembali terjadi. Dulu, saat anak-anak mungkin saya akan sedih mendengar teman dan ayah teman saya hilang di sungai, saat menerima kabar itu di masa sekarang, tubuh dan jiwa saya merespon berbeda. Rumah yang dulu kami tempati, sebelum pindah dan sekarang diisi pasangan suami isteri-dua orang anak itu berduka. Sang suami, yang juga nahkoda kapal harus meregang nyawa di tengah badai bulan Desember, 2022. Ia dalam perjalanan pulang menemui keluarganya. Setelah dua hari tubuhnya terombang-ambing di tengah lautan, barulah mayatnya ditemukan. Tubuhnya dimakamkan di suatu pulau bernama pulau Burung. Sekitar satu hari-satu malam dari pulau itu baru sampai di kampung halaman.
Saya masih anak-anak yang menangisi peristiwa itu, tapi kepala saya bukan lagi anak-anak. Ia telah merekam banyak peristiwa kehilangan, ketakutan, juga kebahagiaan. Sekaligus ia menyimpan diskursus-diskursus yang seolah mampu membaca peristiwa itu:
Kompleks rumah saya yang dulu itu punya lorong yang dikenal dengan lorong janda. Tentu, karena ada banyak janda di situ, dan akhir Desember lalu personil janda itupun bertambah. Lorong janda bukanlah sebuah sebutan penghinaan atau olok-olokan terhadap para janda, melainkan sebuah penanda benteng ketangguhan para janda dalam memperjuangkan hidupnya, orang tuanya, dan anak-anaknya. Mereka bekerja keras membiayai anak-anaknya hingga kuliah. Mereka berjualan apa saja di pasar, pakaian, sembako, alat dan perkakas rumah tangga, dan makanan. Mereka seolah menyadari bahwa status janda bukanlah posisi yang menguntungkan di tengah masyarakat patriarki yang kapitalis ini, maka dari itu mereka melakukan perlawanan dengan berserikat bersama membentuk kelompok/geng. Mereka memilih bekerja dan menjalani hidup yang cukup dan tenang bersama anaknya, tanpa memikirkan pernikahan yang baru.
Untuk menghibur diri, mereka berkumpul, jalan-jalan, membentuk kelompok yang menjadi tempat bertukar gosip, pikiran, pakaian, dan makanan. Jika kalian ingin tahu bagaimana sebuah tragedi dibalut komedi yang kadang-kadang mengandung unsur vulgaritas, cobalah sehari ikut bergabung ke geng mereka. Kalian tidak hanya akan mendapatkan gosip terhangat, tapi juga mendapatkan sisi kehidupan yang berbeda dari apa yang kita hadapi sehari-hari.
Saya punya teman, salah satu anak janda di lorong itu yang setiap saya pulang kampung pasti selalu teriak. "Bia, digao he. Disappako di lorong janda" (Bia, di mana? Kau dicari di lorong janda). Mengingat itu sekarang, saya ingin tertawa sekaligus menangis ðŸ˜
0 komentar