Laki-laki paruh baya itu telah tiga bulan mengunjungi laut, dari pagi hingga sore. Tak ada yang dilakukannya selain duduk di atas pasir, memandangi deburan ombak, dan mata yang dipicingkan karena terik pantai yang luar biasa kala siang hari. Dipandangnya laut, sesekali tangannya menyentuh air lalu melempar batu. Kadang ia mencatat di sebuah buku berwarna jingga yang berkilauan dari jauh. Orang itu adalah Benyamin Franklin, ia telah menjadi seorang oseanografi dan menyukai laut dari kecil, sejak pertama kali ia diajak oleh sang Ayah berkunjung ke Pulau Montonnui. Sejak itu, ketika telah memiliki pekerjaan, ia menabung untuk bisa berlayar dan ia akan sengaja terdampar ke beberapa pulau salah satu di kepulauan nusantara.
Dalam pengembaraannya pada laut, ia sangat rajin membuka dongeng-dongeng. Dari cerita itu, ia percaya kehidupan dalam laut lebih besar dari kehidupan daratan. Dari 70,8 persen perairan yang sangat luas meliputi bumi ini, sungguh laut membawa kemisteriusan bagi manusia. Franklin dan ilmuwan lainnya setelah mengetahui bahwa unsur-unsur air laut terbesar adalah oksigen dan kandungan terkecil sebesar 0.064 kilometer kubik adalah emas, dimulailah pencarian lainnya. Para pemikir barat yang gandrung pada laut mulai penasaran dengan binatang apa saja yang menghuni perairan atau masyarakat dalam laut.
Sebelum turun lebih jauh, mereka harus kembali membuka kitab dongeng guna pembekalan informasi yang tak didapatkan dari penemuan peneliti dan penyelam. Ditemukan cerita hadirnya monster laut dalam cerita rakyat Norwegia. Monster laut berupa cumi ini memiliki ukuran keliling 2,4 kilometer, bentuknya lingkaran pipih dan mempunyai banyak lengan. Pada tahun 1752, seorang Uskup Norwegia menulis bahwa binatang ini mengeruhkan air sekitarnya dengan mengeluarkan cairan mirip tinta.
Dalam pelayarannya Franklin tertegun bahwa pada kedalaman tertentu, laut tidak hanya menghidupkan monster tapi binatang amat kecil yang hanya bisa dilihat dengan bantuan kaca pembesar. Cahaya-cahaya laut pada malam hari tersinari dari cangkang kepiting yang berwarna cerah yang ia temukan di laut Australia. Lebih dari 35.000 macam antropoda hidup di laut, dan 880.000 macam hidup di darat. Antropoda memiliki cangkang yang ditinggalkan bisa bertumbuh dan semua anggota tubuhnya bersendi. Antropoda berarti kaki bersendi.
Masyarakat dasar laut sangat beragam, mereka tidak sekadar berenang, namun juga mampu terbang dan bersembunyi di antara terumbu karang. Saling membantai antar masyarakat laut, dan naas, manusia sudah memiliki kebiasaan mengambil ikan-ikan dengan jumlah yang sangat besar. Kapal-kapal penembak dibuat dan serbuan manusia setidaknya mengambil 54 juta ton ikan pertahun, dan lebih besar lagi saat ini.
***
Franklin berdiri dan sebuah kalimat terlempar dari sudut bibirnya yang tipis. Tidak terdengar apa-apa dari ujung pantai. Kulitnya telah merah membara dan membuat orang-orang di sekitar semakin memperhatikan keberadaannya. Apa yang dilakukan sepanjang hari di hadapan laut? Begitu pikiran orang-orang. Franklin menulis sebuah email kepada isterinya, Monica bahwa ia telah mengamati gelombang dalam bentuknya yang paling sederhana. Franklin memantau bahwa tiupan angin mengakibatkan timbulnya gelombang-gelombang kecil.
Jika angin bertiup dan menimbulkan campur adukan gelombang, maka itulah laut. Sewaktu gelombang keluar dari bawah angin yang melahirkannya, polanya disebut alun. Pada waktu gelombang bergulung ke pantai dan pecah dengan suara gemuruh, namanya dikenal dengan gelora.
Pengamatan gelombang yang dilakukan oleh Franklin adalah perjalanannya dari tidak lagi berhasrat untuk menaklukkan laut. Ia puas hanya dengan mengamati gelombang sebab kesadaran muncul bahwa di bawah laut ada kedalaman yang tak bisa diukur tanpa memahami gelombang di permukaan. Ia paham bahwa gelombang yang paling menghancurkan tidak disebabkan oleh angin ataupun tarikan bulan dan matahari melainkan oleh gangguan besar yang terjadi di bawah laut. Gelombang ini sejak dahulu dinamai gelombang pasang, namun penamaan itu tidak pas sebab gelombang menghancurkan tidak ada hubungannya dengan pasang surut, melainkan gempa serta letusan gunung berapi di bawah laut yang orang Jepang menyebutnya “tsunami”.
Februari lalu saya membaca buku yang sangat bagus, berjudul laut. Itu menyerupai buku mata pelajaran yang isinya tentang pengetahuan-pengetahuan dasar tentang laut. Dan karena itulah, membaca laut yang maha luas dan misterius akan lebih seru jika dimulai dengan bacaan yang dasar-dasar dan sederhana. Kita mungkin akan berpikir tidak akan bisa memahami laut yang maha luas, kompleks, dan misterius. Tidak apa, kita tak perlu sepenuhnya memahami, jika kita bisa memahami gelombang dan lumba-lumba yang coba menyapa saat saya naik kapal dari Pulau Sulawesi ke Jawa Timur, mengapa harus berhasrat memahami seutuhnya.
Cerita di atas adalah hasil pembacaan atas buku laut itu. Sepanjang perjalanan berbuku, saya alhirnya menyadari bahwa saya amat menyukai informasi yang sederhana, dasar, namun penting seperti dalam buku Laut itu, walau sayangnya taka da pembahasan samasekali tentang laut di nusantara.
Namun, penjelasan tentang asal-usul, apa saja yang dikandung oleh laut, kedalamannya, penghuni, sampai interaksi manusia dan laut di abad modern. Pengetahuan manusia tentang laut pasti terbatas, itu adalah hal yang harus diakui bahwa di hadapan laut, manusia hanya butiran pasir kecil di antara kemahaluasan dan kemisteriusan laut.
Dan dari laut kita belajar, bahwa munculnya tsunami, itu pasti diakibatkan oleh letusan gunung berapi dari dalam laut. Jadi tahu kan, jika terjadi tsunami dalam diri kita, tak perlu mencari penyebabnya dari luar, sebab sudah pasti jawabannya ada dalam diri kita masing-masing.
Selamat membaca laut
Selamat membaca diri
Salamakki’