Tentang Buku dan Kampung Halaman

Jika kautanya mauku kini, kujawab: jadi petani. Membalik, menggembur, mencangkul tanah dalam diri. (Sajak Berpilin)

 

Ilustrasi: Ais Nurbiyah 
  

Nenek membuka tas merah dan menghitung kembali uang yang telah disiapkan untuk membeli lemari pendingin (kulkas). Hanya 1,7 juta uang di tas merah itu sementara harga kulkas Panasonic yang diincar nenek seharga 2,2 juta lebih. Saya lalu memberikan jatah uang jajan saya, 500 ribu rupiah untuk ditambahkan. 

Setelah 24 tahun, nenek mengganti lemari pendinginnya. Seorang spesialis kulkas yang datang dari kota untuk sengaja dipanggil memeriksa kondisi kulkas nenek, Kabar buruknya, kulkas nenek sudah tidak dapat diselamatkan. “Wah kulkas lama, mungkin usianya sudah 30 tahun. Sudah tidak bisa Nek dipakai karena mesinnya rusak total," katanya.  Nenek menatap laki-laki yang sepertinya berusia 40 tahun awal dan mengatakan bahwa memang kulkas itu telah dibeli dari tahun 2000. Produksinya diperkirakan bahkan lebih lama, barangkali seusia dengan saya (30 tahun). 

Saya menatap nenek, sepertinya tak ada raut kecewa dan sedih. Nenek memahami bahwa kulkas sudah menemaninya lebih dari cukup. Dari rumah yang dihuni bersama, anak, dan suami, hingga anak-anaknya menikah dan berganti rumah, suami meninggal dunia, dan tinggal lah nenek sendiri di rumah bersama si kulkas. 

Atas saran spesialis kulkas, sebaiknya kulkas nenek diganti dengan merk yang sama, walau sudah dengan keluaran nama yang baru. “Sekarang namanya Panasonic Nek, ini kulkas nenek versi jadul merknya masih National.” 

Dulu nenek membeli kulkas bersamaan dengan keberangkatannya ke tanah suci bersama suami. Pada tahun 2000, ia membeli kulkas, televisi, dan menyetor haji setalah tanah warisannya di kampung dibeli oleh perusahaan tambang yang bernilai sekitar 100 juta lebih pada masa itu. 

Namun, ceritanya menjadi lebih menarik untuk saya setelah mengetahui bahwa tanah tersebut bukanlah warisan  dari orang tua nenek, melainkan dari seorang perempuan yang tidak memiliki anak, bernama Wa Sarimba. Ikatan keluarga nenek dengan Wa Sarimba juga tidak terlalu dekat tapi hubungan batin merekalah yang menyatukan. Wa Sarimba memiliki seorang suami tapi tidak dikaruniai anak. Ia juga adalah anak tunggal dari orang tua yang memiliki cukup banyak tanah di kampung sehingga semua warisan orang tuanya hanya diberikan kepada Wa Sarimba. 

Katanya banyak yang tidak suka Wa Sarimba karna wajah dan tubuhnya yang jelek, hitam, dan tampak tidak terurus. Sehari-hari ia adalah petani, namun di masa tuanya, Wa Sarimba banyak menggantungkan diri pada nenek. Setiap kehabisan uang, Wa Sarimba mendatangi nenek, begitupun saat sakit, nenek datang menemani dan merawatnya. 

Wa Sarimba hanya mendatangi nenek. Wa Sarimba hanya meminta uang kepada nenek. Walau tidak pernah mengatakan, belakangan kita tahu bahwa itu adalah langkah yang tepat untuk menghindari perselisihan di kemudian hari. “Kamare, de ku lokka ri silessureng nu lainge, nasaba wetteako sisala-salai rimunri na.”(Kamare- panggilan nenek, saya tidak pergi meminta bantuan ke saudara mu yang lain, karena saya tidak mau kalian bertengkar kelak di kemudian hari.

 

--

Suatu sore, datang seorang pemuda membawa pesan kepada nenek bahwa Wa Sarimba memanggilnya. Malam itu, Wa Sarimba mengatakan bahwa ada sebuah tas berisi dokumen-dokumen tanah yang harus nenek ambil. Setelah menyampaikan pesan, Wa Sarimba pamit pergi ke kamarnya dan bersiap memberangkatkan diri ke tempat Sang Abadi. Itu adalah malam kepergian Wa Sarimba selamanya. 

Warisan tanah dari Wa Sarimba yang cukup luas semuanya jatuh ke tangan nenek. Wa Sarimba sebenarnya memiliki keponakan yang dalam ikatan keturunan lebih dekat dan dalam hitung-hitungan materil lebih layak mendapatkan warisan itu. Nenek mendatangi keluarga dekat Wa Sarimba dan secara transparan mengatakan ada warisan diberikan kepada Nenek. Sebagian diseragkan nenek, walau tak ada satupun yang memintanga. Tanah itu lah yang kini ditempati membangun rumah, berkebun, tempat bermain anak-anak, dan dijual nenek untuk keberangkatannya haji sekaligus memberi barang elektronik di rumahnya. 

Rusaknya kulkas nenek membawa saya pergi ke masa sebelum saya lahir.  Pada cerita Wa Sarimba yang belum pernah saya temui namun warisannya telah saya nikmati setiap pulang ke kampung. Setiap tahun Nenek selalu menggelar selamatan khusus untuk mendoakan orang tuanya dan Wa Sarimba. 

Laki-laki paruh baya itu telah tiga bulan mengunjungi laut, dari pagi hingga sore. Tak ada yang dilakukannya selain duduk di atas pasir, memandangi deburan ombak, dan mata yang dipicingkan karena terik pantai yang luar biasa kala siang hari. Dipandangnya laut, sesekali tangannya menyentuh air lalu melempar batu. Kadang ia mencatat di sebuah buku berwarna jingga yang berkilauan dari jauh. Orang itu adalah Benyamin Franklin, ia telah menjadi seorang oseanografi dan menyukai laut dari kecil, sejak pertama kali ia diajak oleh sang Ayah berkunjung ke Pulau Montonnui. Sejak itu, ketika telah memiliki pekerjaan, ia menabung untuk bisa berlayar dan ia akan sengaja terdampar ke beberapa pulau salah satu di kepulauan nusantara. 

                                                                                          

                  Dalam pengembaraannya pada laut, ia sangat rajin membuka dongeng-dongeng. Dari cerita itu, ia percaya kehidupan dalam laut lebih besar dari kehidupan daratan. Dari 70,8 persen perairan yang sangat luas meliputi bumi ini, sungguh laut membawa kemisteriusan bagi manusia. Franklin dan ilmuwan lainnya setelah mengetahui bahwa unsur-unsur air  laut terbesar adalah oksigen dan kandungan terkecil sebesar 0.064 kilometer kubik adalah emas, dimulailah pencarian lainnya. Para pemikir barat yang gandrung pada laut mulai penasaran dengan binatang apa saja yang menghuni perairan atau masyarakat dalam laut.

                    Sebelum turun lebih jauh, mereka harus kembali membuka kitab dongeng guna pembekalan informasi yang tak didapatkan dari penemuan peneliti dan penyelam. Ditemukan cerita hadirnya monster laut  dalam cerita rakyat Norwegia. Monster laut berupa cumi ini memiliki ukuran keliling 2,4 kilometer, bentuknya lingkaran pipih dan mempunyai banyak lengan. Pada tahun 1752, seorang Uskup Norwegia menulis bahwa binatang ini mengeruhkan air sekitarnya dengan mengeluarkan cairan mirip tinta. 

                  Dalam pelayarannya Franklin tertegun bahwa pada kedalaman tertentu, laut tidak hanya menghidupkan monster tapi binatang amat kecil yang hanya bisa dilihat dengan bantuan kaca pembesar. Cahaya-cahaya laut pada malam hari tersinari dari cangkang kepiting yang berwarna cerah yang ia temukan di laut Australia. Lebih dari 35.000 macam antropoda hidup di laut, dan 880.000 macam hidup di darat. Antropoda memiliki cangkang yang ditinggalkan bisa bertumbuh dan semua anggota tubuhnya bersendi. Antropoda berarti kaki bersendi. 

                  Masyarakat dasar laut sangat beragam, mereka tidak sekadar berenang, namun juga mampu terbang dan bersembunyi di antara terumbu karang. Saling membantai antar masyarakat laut, dan naas, manusia sudah memiliki kebiasaan mengambil ikan-ikan dengan jumlah yang sangat besar. Kapal-kapal penembak dibuat dan serbuan manusia setidaknya mengambil 54 juta ton ikan pertahun, dan lebih besar lagi saat ini. 

***

                  Franklin berdiri dan sebuah kalimat terlempar dari sudut bibirnya yang tipis. Tidak terdengar apa-apa dari ujung pantai. Kulitnya telah merah membara dan membuat orang-orang di sekitar semakin memperhatikan keberadaannya. Apa yang dilakukan sepanjang hari di hadapan laut? Begitu pikiran orang-orang. Franklin menulis sebuah email kepada isterinya, Monica bahwa ia telah mengamati gelombang dalam bentuknya yang paling sederhana. Franklin memantau bahwa tiupan angin mengakibatkan timbulnya gelombang-gelombang kecil. 

                  Jika angin bertiup dan menimbulkan campur adukan gelombang, maka itulah laut. Sewaktu gelombang keluar dari bawah angin yang melahirkannya, polanya disebut alun. Pada waktu gelombang bergulung ke pantai dan pecah dengan suara gemuruh, namanya dikenal dengan gelora.

                  Pengamatan gelombang yang dilakukan oleh Franklin adalah perjalanannya dari tidak lagi berhasrat untuk menaklukkan laut. Ia puas hanya dengan mengamati gelombang sebab kesadaran muncul bahwa di bawah laut ada kedalaman yang tak bisa diukur tanpa memahami gelombang di permukaan. Ia paham bahwa gelombang yang paling menghancurkan tidak disebabkan oleh angin ataupun tarikan bulan dan matahari melainkan oleh gangguan besar yang terjadi di bawah laut. Gelombang ini sejak dahulu dinamai gelombang pasang, namun penamaan itu tidak pas sebab gelombang menghancurkan tidak ada hubungannya dengan pasang surut, melainkan gempa serta letusan gunung berapi di bawah laut yang orang Jepang menyebutnya “tsunami”. 


Februari lalu saya membaca buku yang sangat bagus, berjudul laut. Itu menyerupai buku mata pelajaran yang isinya tentang pengetahuan-pengetahuan dasar tentang laut. Dan karena itulah, membaca laut yang maha luas dan misterius akan lebih seru jika dimulai dengan bacaan yang dasar-dasar dan sederhana. Kita mungkin akan berpikir tidak akan bisa memahami laut yang maha luas, kompleks, dan misterius. Tidak apa, kita tak perlu sepenuhnya memahami, jika kita bisa memahami gelombang dan lumba-lumba yang coba menyapa saat saya naik kapal dari Pulau Sulawesi ke Jawa Timur, mengapa harus berhasrat memahami seutuhnya. 

Cerita di atas adalah hasil pembacaan atas buku laut itu. Sepanjang perjalanan berbuku, saya alhirnya menyadari bahwa saya amat menyukai informasi yang sederhana, dasar, namun penting seperti dalam buku Laut itu, walau sayangnya taka da pembahasan samasekali tentang laut di nusantara. 

Namun, penjelasan tentang asal-usul, apa saja yang dikandung oleh laut, kedalamannya, penghuni, sampai interaksi manusia dan laut di abad modern. Pengetahuan manusia tentang laut pasti terbatas, itu adalah hal yang harus diakui bahwa di hadapan laut, manusia hanya butiran pasir kecil di antara kemahaluasan dan kemisteriusan laut. 

Dan dari laut kita belajar, bahwa munculnya tsunami, itu pasti diakibatkan oleh letusan gunung berapi dari dalam laut. Jadi tahu kan, jika terjadi tsunami dalam diri kita, tak perlu mencari penyebabnya dari luar, sebab sudah pasti jawabannya ada dalam diri kita masing-masing. 

 

Selamat membaca laut 

Selamat membaca diri

 

Salamakki’

Tahun lalu Ibu menghadiahkan sebuah laboratorium kecil yang dibangun dari sebongkah batu putih yang mendiami tubuhnya. Laboratorium yang terisi oleh percobaan-percobaan yang dilakukan bersama selama dua tahun belakangan, tepatnya saat Ibu mengidap penyakit osteoathritis di lututnya, atau sering kita sebut pengapuran. Penyakit ini menyerangnya, saat ia memasuki masa pensiun, di umurnya yang 60 tahun. Ibu dulu sering memimpikan masa-masa yang tenang bersama bunga-bunganya di pekarangan rumah selama pensiun, tapi hidup punya jalan takdirnya sendiri. Ibu tidak mampu berjalan secara normal. Perjalanan terlamanya dengan jalan kaki maksimal 5 meter, dengan kemampuan berdiri maksimal 15 menit. 


Selama ikut menemani Ibu dalam proses penyembuhan, saya belajar banyak hal tentang medis, tanaman, reaksi tubuh, termasuk rasa. 

 Saat pertama kali mengecek kondisi, dokter menyarankan Ibu disuntik pelumas. Katanya Ibu tidak bisa berjalan jika dalam waktu satu tahun lututnya tidak disuntik. Saat ditanya apa yang harus dihindari, dokter enggan memberi banyak jawaban, baginya suntik pelumas satu-satunya jawaban, sementara bagi kami, menyerahkan tubuh ibu untuk tiba-tiba disuntik bukanlah perkara mudah. Ada banyak pertimbangan, selain tentunya harga yang tidak murah bagi kami.


Akhirnya kami pulang, dan meyakinkan diri saya sendiri sebelum meyakinkan ibu bahwa, bukan saya dan dokter yang memahami tubuh Ibu, tapi ibu sendiri. Selama 60 tahun Ibu telah berumah di tubuh itu, dan pasti sang tubuh juga menginginkan Ibu yang merawatnya.  Artinya, ibulah yang paling mengetahui pengobatan terbaik untuk pengapuran lutut itu. Kita punya pikiran, perasaan, dan anugerah alam dari Sang Maha Alam. Modal yang bisa digunakan memulai swa-pengobatan ini. 


Sejak saat itu, kami memutuskan berhenti mengonsumsi obat dari dokter dan memulai terapi serta pengobatan di rumah meski tahu betul pemahaman medis dan biologi kami sangat minim. 


Hal pertama yang kami lakukan adalah menurunkan berat badan Ibu. Logikanya,  jika berat badan Ibu turun, maka beban lututnya pun berkurang. Hal kedua, memastikan nutrisi dan stamina Ibu melalui makanan yang masuk ke tubuhnya. Serta, yang paling penting pemenuhan konsumsi 5% (dari berat badan) air putih setiap hari. 


Makanan yang harus dihindari, minyak sawit, terigu, ikan bandeng, makanan instan, dan ayam potong. Untuk menurunkan berat badan, ganti makan malam dengan mengonsumsi buah. 


Untuk memulai pengobatan osteoathritis Ibu, saya mulai dengan menghubungi teman dan kerabat yang pernah memiliki pengalaman yang sama. Saya juga membangun obrolan dengan herbalis. Dari pengalaman dan pengetahuan mereka saya bertemu dengan berbagai resep pengobatan. Tapi saya memilih memulainya dengan yang paling dekat, yakni membuat fermentasi buah nanas. Jika nanas di belakang rumah nenek sedang berbuah, saya sering mengambilnya dari situ. 

Kami memfermentasi buah nanas selama 23 hari. Nanas fermentasi itu, ibu minum sekitar 2-3 sendok lalu dicampur ke dalam setengah gelas air hangat. Fermentasi nanas mampu menguatkan metabolisme tubuh, meredakan gerd, serta tekanan darah. Meski fungsinya tidak secara langsung menyembuhkan osteoathritis, tapi memberikan nutrisi dan menghalangi penyakit lain muncul merupakan sesuatu yang tak kalah penting untuk diusahakan. Dengan begitu, tubuh ibu lebih siap dan berfokus melawan penyakit osteoathritisnya.


Setelah fermentasi nanas, untuk menguatkan fungsi ginjai sebab katanya saluran tubuh ibu perlu dikuatkan agar pengapurannya tidak semakin mengendap, saya membuat jus dari empat jenis buah (kentang, tomat, sirsak, dan melon). Ibu meminumnya sekali sehari. Bersamaan dengan itu, untuk pengobatan herbal pada osteoathritis Ibu, kami membuat jus dari buah kolang-kaling dan rumput laut yang dicampur dengan gula aren. Jika sejak awal, dokter ingin menyuntik pelumas, itu karena lutut ibu mengalami pembengkakan karena sakit. Sakit itu terjadi sebab tubuh Ibu tak lagi memproduksi pelumas yang berfungsi memudahkan pergerakan persendian itu. Jus kolang kaling dan rumput laut ini mampu meningkatkan produksi pelumas tersebut. Saya mengambil buah kolang kaling dari belakang rumah om saya, dan membeli rumput laut dari toko online.


Tiga bulan kemudian, saya mencoba membuat minyak kelapa murni atau yang kita kenal dengan Virgin Coconut Oil atau VCO. Kelapa ini diambil dari kebun nenek. Kata guru saya, ini minyak dari surga. Bagi Ibu, VCO tidak memberikan pengaruh yang besar. Bahkan, Ibu cenderung merasakan posisi rahimnya agak turun (ini adalah penyakit yang juga Ibu idap beberapa tahun tapi tidak begitu parah). Mungkin karena obat ini adalah minyak, jadi memudahkan rahim untuk turun, makanya VCO ini sangat bagus dikonsumsi bagi perempuan menjelang persalinan. 


Selain membuat VCO, kami juga membuat fermentasi bawang putih yang dicampur dengan madu. Ibu hampir tidak bisa memakannya karena bau dan rasanya yang menyengat. Sementara, untuk penyakit kolestrol dan asam urat termasuk untuk penyakit gerd, kami sering memanfaatkan daun salam dan rempah-rempah. Kami merebus jahe, lengkuas, sereh, dan kayu manis. Sebelum diminum, kami mencampurnya dengan madu dan jeruk nipis. Setelah mengobservasi, rempah-rempahan sungguh ampuh meredakan penyakit gerd dan kolestrol. Saya yang memiliki riwayat gerd dan kolestrol pun ikut meminumnya. Rasanya enak, segar, dan hangat. 


Satu tahun perjalanan pengobatan Ibu 


Di masa awal, mental Ibu sering down karena ibu ingin beraktivitas seperti dulu. Akhirnya, muncul hasrat untuk sembuh lebih cepat. Saya selalu meyakinkan Ibu, bahwa pengobatan herbal tidak secepat pengobatan medis pada umumnya, tapi biasanya hasilnya lebih menyenangkan. Ibu manut saja, apalagi saat melihat keluarga lain yang memiliki penyakit serupa dengannya, juga tidak sembuh dengan suntik pelumas. 


Dengan beragam resep yang telah dibuat, saya mencoba melirik obat-obat herbal komersil. Ada dua obat herbal produksi Australia dan Nganjuk yang Ibu konsumsi. Keduanya terpercaya dan tentu bukan Multi Level Marketing (MLM) :D


Ibu telah melewati pengobatan yang intens di rumah selama dua tahun. 6 bulan pertama barulah Ibu merasakan ada progres meskipun sedikit.Proses penyembuhan osteoathritis Ibu menghasilkan dampak kecil-kecil setiap waktu. Pertama, berat badan yang turun 10kg. Kedua, lutut Ibu yang awalnya bengkak menjadi tidak bengkak karena sudah tidak sakit. Ketiga, lutut Ibu sudah mampu merasakan kram. Keempat, ibu sudah mampu menekuk lututnya. Kelima, pengapurannya menjadi berkumpul dalam gumpalan yang berada di dekat lutut dan tangan. Itu menjadi kabar baik karena pengapurannya menjadi terpusat, sehingga akan memudahkan jika diangkat. Tapi, Ibu tidak pernah mau dioperasi. Ia berharap pengapuran itu bisa keluar sedikit demi sedikit melalui proses alami tubuhnya yang dibantu dengan makanan dan obat herbal. 


Banyak yang belum bisa dilakukak oleh Ibu. Ia belum mampu jongkok dan kesusahan berdiri dari posisi duduk di lantai. Ia juga masih duduk di kursi saat shalat serta belum mampu berjalan ke pasar membeli sabun. Tapi ia sudah bisa menyapu dan mengepel, serta mengupas kulit kelapa yang keras.

        

Sesuatu yang disebut mistis, gaib, ataupun klenik, seperti diketahui bersama sangat dekat dengan kehidupan orang-orang negeri ini. Bukanlah peristiwa langka untuk bisa menemukan praktik-praktik dan kepercayaan-kepercayaan itu dianut oleh lingkungan sekitar. Namun, sayangnya sesuatu yang amat dekat itu seringkali berjarak sebab dipandang eksklusif, dan saking sakralnya tak bisa terjangkau. Akan sangat sulit menemukan pembahasan menyoal mistisme sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari realitas, sama halnya ketika kita membahas sepak bola, pemilu, kriminalitas, dan sebagainya. Fenomena keterasingan itu jika digambarkan persis dengan kejadian seorang pawang hujan yang menampilkan ritualnya di suatu sirkuit balapan. 
        Semua orang memuja-muja pawang hujan itu beraksi dengan heboh. Lalu, kita menemukan komentar dalam barisan penonton, “inilah wajah Indonesia dengan budaya timurnya”. Kalimat yang bertendensi mendefinisikan suatu budaya melalui praktik yang ‘agung’ yang mereka sendiri tidak mampu melihatnya dari dekat, alih-alih menjalankannya. Itulah yang disebut dengan eksotisisasi.  
        Tahun 2018 lalu, saya bertemu satu reportase menarik di internet berjudul “Ayahku Seorang Penghayat, Tapi Dia Tak Bisa Dimakamkan Sesuai Kepercayaannya”. Tulisan ini merekam perjalanan penulis meliput pemakaman ayahnya yang seorang penghayat. Judulnya membuat saya tertarik meng-klik hingga tanpa terasa, saya telah berada di akhir halaman.
         Saya belum pernah membayangkan, bagaimana meliput pemakaman ayah sendiri, dengan tumpukan rasa sedih dan getir, sampai saya menemukan tulisan ini. Karena ketertarikan yang dalam, saya mencari tahu siapa penulis, dan mencoba menjangkaunya di media sosial. Hingga dua tahun berlalu, tulisan ini mengendap dalam memori hingga suatu hari, tanpa ada rencana, saya bertemu dengan penulisnya dalam suatu perjalanan yang amat berkesan. 
        Kami dipertemukan dalam pekerjaan pendokumentasian kehidupan para bissu di Sulawesi Selatan. Dari pertemuan itu, saya semakin percaya, bahwa sesuatu yang kita cari, juga ikut mencari kita. Sepertinya kita dipertemukan dalam peristiwa yang terjadi secara kebetulan, tapi sebenarnya itu adalah kumpulan memori, pencarian, dan petunjuk yang menuntun pada jawaban. 
        Dari pertemuan itu, saya diberikan satu buku oleh penulisnya langsung, Titah AW berjudul Parade Hantu Siang Bolong (2020), yang berisi kumpulan reportase jurnalistik menyoal mitos dan lokalitas. Buku ini berisi 16 reportase yang versi suntingnyaa telah diterbitkan pada salah satu media online di Indonesia. Buku diterbitkan oleh penerbit Warning Books. Buku juga memuat tulisan yang membuat saya pertama kali bertemu dengan Titah AW, tentu dalam versi belum disunting dengan judul berbeda, “Bagaimana Mereka Memakamkan Bapak yang Penghayat”. 
        Buku Parade Hantu Siang Bolong adalah oase dari keringnya pembahasan mistisme timur yang mendalam. Melalui tulisan-tulisan Titah AW, kita dapat melihat bagaiaman persoalan mitos dan lokalitas yang terkait dengan mistisme ini bekerja dengan segala kompleksitasnya dalam suatu dinamika masyarakat yang penulisnya sebut sebagai realisme magis. Mistisme, lokalitas, mitos, alien, dan kepercayaan, dibahas lugas dengan pendekatan jurnalistik. 
        Titah AW turun ke lapangan, mengikuti serangkaian kegiatan, bahkan untuk menemukan jawaban, ia menyusuri gang-gang sempit, untuk menemukan informasi-informasi yang dibutuhkannya, misalnya ketika Titah AW mendatangi pabrik rumahan penghasil ciu di Sukoharjo. Sebagai praktik yang illegal, tidak mudah mendapatkan narasumber yang mau terbuka, namun buku tetap menyuguhkan informasi yang lengkap dari berbagai narasumber. 
          Pengalaman mistis dalam buku ini juga menonjol, ambil contoh tulisan pertama dalam buku Parade Hantu Siang Bolong, “Pengalamanku Ikut Pesta Antar-Dimensi Bareng Roh Halus di Ebeg Banyumas” Melalui tulisan tersebut, kita dibawa merasakan, mendengar, dan melihat bagaimana anak muda yang kecanduan ebeg (upacara pesta trance/ kesurupan) di Banyumas. Melalui reportase Titah AW, kita melihat bahwa mistisme bukanlah hal yang menakutkan, melainkan suatu perayaan. 
        Para pemuda menyediakan tubuhnya sebagai medium ke dunia lain (gaib). Tidak hanya menampilkan mistisme yang tidak menakutkan, buku ini juga tidak lupa menampilkan bahwa mistisme lahir tidak hanya dari ruang suci dan sakral, bahwa kehadirannya semata-mata sebagai warisan leluhur, namun juga sebagai ruang eskapis dari masalah hidup. 
        Ketika akses kafe terbatas, maka warisan nenek moyang ini menjadi jalan keluar bagi anak muda untuk mewujudkan gelora kebebasan dan hasrat menampilkan diri. Pengalaman mistis itu juga ditampilkan dalam reportase lainnya, seperti “Prosedur atau Petunjuk Dukun, Mengikuti Usaha Tim SAR Mencari Orang Hilang di Gunung”, “Membaca Pesan Semesta Lewat Tarot”, dan “Hantu-hantu Seribu Percakapan: Pameran Site-Spesific yang Membongkar Lapisan Sejarang Kaliurang”.
        Membaca buku ini menjadikan saya semakin optimis dan percaya bahwa sesuatu yang selama ini dianggap tidak logis, dongeng, dan artefak budaya juga mampu dibahas lebih dalam, seperti kita membahas persiapan pemilu di tahun 2024. Titah AW membuka jalan dan membuktikan bahwa persoalan mistisme hidup dan terus bertransformasi utamanya di dunia yang semakin modern. 
        Kehadirannya saat ini bukanlah semata-mata berasal dari ruang suci, melainkan dipengaruhi oleh budaya masyarakatnya, aturan dalam negara, perubahan iklim, hingga massifnya tekhnologi digital. Anda mungkin tidak pernah membayangkan sebelumnya, bagaimana seorang dukun melakukan proses pengobatan melalui telepon seluler? Atau seorang pasangan muda yang belum dikaruniai anak datang ke pemakaman tua untuk berdoa.                 
        Percayalah, dengan melihat lebih dekat sesuatu yang dianggap mistis itu, kita juga bisa menemukan banyak cerita dari orang-orang yang tidak terlepas dari masalahnya di rumah, sekolah, lingkungan masyarakat,  kantor, bahkan dalam ruang-ruang privat seperti kamar tidur. Suatu realitas yang sesungguhnya sangat dekat dengan hidup kita saat ini sebagai bagian dari masyarakat ataupun individu. 



Sejak kecil hingga SMP, saya hidup di suatu pemukiman yang berjarak hanya beberapa meter dari sungai. Oleh karena itu, kami menjalin hubungan yang akrab dengan banjir dan bertemu setidaknya sekali setahun. Bagi kami yang kanak-kanak, banjir adalah kolam permainan. Kami memutar otak untuk menemukan permainan yang bisa dinikmati bersama saat hujan dan banjir datang. Kami bermain seluncuran, membuat perahu dari gabus sisa tempat penyimpanan ikan para nelayan, dan permainan lainnya. Di pemukiman itu, pada awal tahun 2000-an, 80 persen mata pencaharian masyarakatnya adalah nelayan.

Saya mengingat bagaimana perahu besar itu dibuat oleh nelayan di pinggir sungai. Warga melakukan perayaan dan selamatan saat perahu pertama kali berlayar. Sebelum masa pelayaran, para istri menyiapkan makanan di rumah dan sebagiannya dialirkan di sungai. Konon, itu dipersembahkan untuk penjaga sungai yang berwujud buaya dan ikan. 

Ingatan saya tentang sungai tidak berhenti di situ, kami pernah menaruh trauma yang besar saat salah seorang anak di kompleks kami tenggelam dan berhasil ditemukan dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Dia adalah anak perempuan satu-satunya yang telah berpuluh-puluh tahun didambakan oleh orang tuanya. Sampai sekarang bayangan anak itu terekam jelas di kepala saya. 

Pada Piala Dunia 2006, daerah kami terkena banjir bandang. Bencana itu masuk dalam kategori banjir nasional karena menelan ratusan korban jiwa. Kompleks kami salah satu yang tenggelam. Bapak saya yang waktu itu memilih menonton pertandingan piala dunia dibandingkan ikut mengungsi bersama kami di tempat yang lebih tinggi hampir tak terselamatkan. Ia baru menyadari bahwa banjir semakin tinggi, ketika air sudah meluap hampir menggenangi televisi yang ditontonnya. Hujan deras terus terjadi dan air semakin tinggi menyentuh pertengahan bangunan rumah. Sampai sekarang saya tidak pernah ingin mendengar bagaimana cerita bapak saya bisa selamat karena entah trauma atau belum siap menerima kisahnya. 

Saat itulah pertama kalinya saya melihat banyak wartawan yang turun membuat berita, memotret kampung kami dan para korban bencana. Beberapa pekan kami tidak sekolah dan bertemu teman-teman setiap siang/sore hari saat ada bantuan makanan. Tapi, kami tetap bermain dengan penuh suka cita. Para orang tua, dengan pelan dan perlahan membenahi huniannya kembali. Kami anak-anak justru riang gembira mencari kayu bakar. Tapi, selama beberapa hari pasca kejadian, kami juga mendengar angka korban jiwa yang ditemukan semakin bertambah. Gambaran di kepala saya saat ini jika mengingat kejadian 17 tahun lalu itu, hanyalah lumpur dan kayu. 

Sungai yang menjadi tempat berangkat para nelayan telah memberikan kami sekian kabar buruk. Ayah teman saya dalam kepergiannya "ma' tasi" harus merelakan nyawanya di tengah samudera karena badai yang menerjang. Tragedi itu tidak sekali dua kali terjadi, kami sudah beberapa kali melaluinya. Dulu, tentu saya belum mengerti jika kehilangan suami bukan hanya soal kesedihan dan air mata yang tumpah. Barulah saat dewasa, saya mengetahui bahwa itu juga menyangkut persoalan ekonomi, stigma masyarakat tentang janda, trauma anak perempuan yang kehilangan ayahnya, dan banyak lagi. 

Tahun 2022, adalah tahun yang sibuk dan berombak. Saya menulis catatan itu untuk menutup tahun 2022. Berombak mungkin karena tragedi itu kembali terjadi. Dulu, saat anak-anak mungkin saya akan sedih mendengar teman dan ayah teman saya hilang di sungai, saat menerima kabar itu di masa sekarang, tubuh dan jiwa saya merespon berbeda. Rumah yang dulu kami tempati, sebelum pindah dan sekarang diisi pasangan suami isteri-dua orang anak itu berduka. Sang suami, yang juga nahkoda kapal harus meregang nyawa di tengah badai bulan Desember, 2022. Ia dalam perjalanan pulang menemui keluarganya. Setelah dua hari tubuhnya terombang-ambing di tengah lautan, barulah mayatnya ditemukan. Tubuhnya dimakamkan di suatu pulau bernama pulau Burung. Sekitar satu hari-satu malam dari pulau itu baru sampai di kampung halaman. 

Saya masih anak-anak yang menangisi peristiwa itu, tapi kepala saya bukan lagi anak-anak. Ia telah merekam banyak peristiwa kehilangan, ketakutan, juga kebahagiaan. Sekaligus ia menyimpan diskursus-diskursus yang seolah mampu membaca peristiwa itu: 

Kompleks rumah saya yang dulu itu punya lorong yang dikenal dengan lorong janda. Tentu, karena ada banyak janda di situ, dan akhir Desember lalu personil janda itupun bertambah. Lorong janda bukanlah sebuah sebutan penghinaan atau olok-olokan terhadap para janda, melainkan sebuah penanda benteng ketangguhan para janda dalam memperjuangkan hidupnya, orang tuanya, dan anak-anaknya. Mereka bekerja keras membiayai anak-anaknya hingga kuliah. Mereka berjualan apa saja di pasar, pakaian, sembako, alat dan perkakas rumah tangga, dan makanan. Mereka seolah menyadari bahwa status janda bukanlah posisi yang menguntungkan di tengah masyarakat patriarki yang kapitalis ini, maka dari itu mereka melakukan perlawanan dengan berserikat bersama membentuk kelompok/geng. Mereka memilih bekerja dan menjalani hidup yang cukup dan tenang bersama anaknya, tanpa memikirkan pernikahan yang baru.

Untuk menghibur diri, mereka berkumpul, jalan-jalan, membentuk kelompok yang menjadi tempat bertukar gosip, pikiran, pakaian, dan makanan. Jika kalian ingin tahu bagaimana sebuah tragedi dibalut komedi yang kadang-kadang mengandung unsur vulgaritas, cobalah sehari ikut bergabung ke geng mereka. Kalian tidak hanya akan mendapatkan gosip terhangat, tapi juga mendapatkan sisi kehidupan yang berbeda dari apa yang kita hadapi sehari-hari.

Saya punya teman, salah satu anak janda di lorong itu yang setiap saya pulang kampung pasti selalu teriak. "Bia, digao he. Disappako di lorong janda" (Bia, di mana? Kau dicari di lorong janda). Mengingat itu sekarang, saya ingin tertawa sekaligus menangis 😭

Saya memulai tahun 2022, pada sebuah perjalanan magis di suku pedalaman Sulawesi Tengah. Menyusuri rimba, ibu sungai, dan bertemu anak-anak bermata indah. Membuka tahun dengan perjalanan yang berat, menegangkan, dan penuh benturan, tapi sekaligus indah. 

Tahun 2022 adalah waktu yang sibuk dan berombak. Saya mengingat beberapa kejadian yang dalam lemparan dan tuntunannya membuat saya terus belajar kembali ke permukaan setelah digulung ombak. 

Di awal tahun, saya menghabiskan waktu satu bulan di hutan bersama masyarakat adat suku To Wana. Mendokumentasikan dan merekam cerita mereka dalam bentuk visual, audio, dan teks. Pertengahan hingga akhir tahun, saya masih menulis buku-buku untuk menyambung hidup dan terus menjadi penulis bayangan (ghost writer) sebab tanggungan yang bertambah. Kabar baiknya, saya juga masih memiliki pekerjaan yang tidak hanya berorientasi pada uang, tapi juga passion dan kreativitas. Waw. Di akhir tahun, sebuah proyek membuat video di hutan dan desa membuka pengalaman kolaborasi dan kerja-kerja baru. Sepanjang tahun ini, saya juga sedang belajar konsisten mengunggah video kegiatan yang saya cintai di Youtube. Awalnya terasa ringan, lama-lama ternyata berat juga apalagi saat deadline-deadline terus bertambah. 

Tahun 2022 mempertemukan saya dengan banyak hutan, masyarakat adat, sungai, pohon besar, suara burung, nyanyian, dan mantra. Saya menemukan peristiwa-peristiwa luar biasa berbeda namun tidak asing. Tapi, saya juga meninggalkan beberapa hal dalam diri. Tepatnya melakukan suatu pengabaian. Menjumpai tubuh yang beberapa kali drop. Dan, butuh waktu lama untuk bangkit dari keegoisan -  mengatur ritme perasaan untuk sekadar berkata "tidak apa-apa", "sadar, sadar, sadar", "ayo bangkit lagi". 

Saya tidak bisa mengatakan jika tahun ini lebih mudah dari tahun sebelumnya: saya melewati keputusan sulit dan percakapan-percakapan serius di dalam kepala yang sangat jarang dikeluarkan. Tentu kita semua memiliki luka batin, trauma, kekhawatiran, ketakutan dan kekuatan di saat yang sama. Tapi ada yang memilih menerimanya secara sadar, ada pula yang menerimanya sebab merasa tak ada pilihan lain. Untungnya saya masih bertekad memilih jalur kesadaran dengan hidup hari ini. Saya menemukan fakta bahwa permasalahan yang kita jumpai dan coba selesaikan dengan logis dan tenang, menjadikan hidup lebih sederhana. Ya, tahun 2022 barangkali lebih berat, tapi semoga membuat saya bertumbuh 5 cm dari tahun sebelumya :D

Di antara perjalanan ini, hal paling indah yang saya rasakan di tahun 2022 adalah, kedamaian setelah berhasil berhenti memaksakan diri. Saya berusaha belajar sepelan mungkin dan terus mengikuti arah angin petunjuk-Nya. 

Saya telah menutup tahun 2022 dengan perasaan syukur tak terkira. Saya belum pernah merasakan bagaimana minum air putih, mandi dan keramas, makan secukupnya, memotong kuku, dan bertemu matahari pagi dan udara sejuk semenakjubkan itu, sampai saya melakukannya di saat tubuh benar-benar sadar dan rehat. Jika awal tahun 2022, saya mulai dengan perjalanan magis nan jauh di hutan, akhir tahun ini saya melakukan perjalanan sederhana dan amat dekat. Perjalanan ke dalam diri demi mengetuk pintunya untuk mengajaknya memasuki tahun baru dengan kelapangan hati dan kebersandaran hanya pada-Nya.

Terima kasih teman-teman atas obrolan, cinta, dan peristiwanya. 

Malam merayakan lampu-lampu jalan, angin kota, bau asap kendaraan, teriakan ibu-ibu penjual mainan, tawa para supir angkot dan bentor yang sejak pagi menyusuri jalan untuk mengais rezeki. 

Malam itu, saya menyanggupi bertemu dengan seseorang. Mobil yang saya kendarai melaju di angka rata-rata 40 km/jam. Dia tiba lebih dulu dan kami bertemu di suatu keramaian. Saya memesan kopi dan dia memesan jus. Bagi saya itu pertemuan pertama kali. Tapi, baginya, itu adalah pertemuan kedua. Kita pernah bertemu sebelumnya di kedai buku. Tapi, apalah saya yang pelupa dan introvert di tengah kerumunan orang. 

Kami mengobrol banyak hal, mulai dari buku, perkembangan youtube yang sedang saya rintis, pengobatan herbal, kesibukan masing-masing, tentang klenik-klenikan, ambisi dan cita-cita. Rasanya, malam itu, saya baru saja berbicara dengan seseorang yang telah lama saya kenal. Kenapa begitu nyaman mengobrol, bahkan di saat pertemuan pertama?! Apakah sebelumnya kita pernah akrab di suatu masa yang entah kapan dan di mana? Ataukah karena memang telah lama saya tidak bertemu dengan seseorang yang dengannya saya dapat mengobrol banyak hal tanpa diliputi kekhawatiran dan ketersinggungan? Entahlah. Tapi, kita telah mengobrol banyak  malam itu, bukan? Semoga tidak hanya saya yang senang, tapi dia juga senang mendengar dan membagi ceritanya. 

Saya memutuskan pulang, di saat lampu-lampu kota masih terang. Perjalanan ke desa nenek masih panjang. Saya harus menempuh jalan sepi, kurang lebih setengah jam untuk sampai di rumahnya. Dia juga perlu menempuh perjalanan kurang lebih dua jam untuk sampai ke kotanya. Kami berpamitan dan bersalaman. Sesaat kemudian, hati saya menjadi hangat. 

Malam itu berlanjut ke malam-malam yang lain. Obrolan-obrolan semakin banyak dan meluas. Kami semakin akrab. Seperti halnya, teman dekat, kami saling bertukar kabar. Bercerita apa saja yang kami lakukan sepanjang hari. Dia tahu, jadwal saya memasak, meracik obat untuk Ibu, memijat ibu, dan aktivitas yang lain. Dia membagi obrolannya di toko buku bersama temannya, film apa yang sedang ditonton, buku apa yang disukainya, dan sebagainya. 

Seperti umumnya orang yang sedang berkenalan, kita berusaha memahami emosi masing-masing. Berusaha menangkap irama perasaan dan pikiran. Mengatur, membentang, dan merenggangkan jarak adalah salah satu cara saya tetap bertahan. Saya tahu, ada saat, dia bekerja keras berkomunikasi dengan saya secara intens di saat sebenarnya dia sedang ingin sendiri. Tapi, kadang, saya juga merasa diabaikan.

--

Siang itu, kami bertemu kembali. Tapi, saya tidak menemukannya sebagai seseorang yang malam (itu) saya jumpai. Dia sedang mengalami fase burn out, psikis dan fisik. Saya berusaha memahami kondisi itu, tapi sialnya, sehari setelah pertemuan, saya sedang kalah oleh ketakutan-ketakutan di kepala. Saya sedang dikuasai dan dikontrol oleh ego dan ekspektasi yang tak berdasar. 

Setelah malam itu, komunikasi kami berjalan sangat buruk. Sepertinya, dia juga mengalami hal serupa. Lalu, saya ingat pernah bercerita tentang "pelajaran melepaskan". Tentang hal-hal yang hanya bisa kita usahakan, tapi tidak bisa kita kontrol. Tentang kesalahan yang harus kita perbaiki, tapi perkataan hati tak pernah berbohong. Jika ia meminta melepaskan, maka lepaskanlah. Memaksakan sesuatu pada akhirnya hanya akan merugikan kita berdua. Jika, sesuatu itu belum saatnya terjadi, biarkanlah mereka bertemu jalannya. Ini bukan waktu yang tepat.

Tapi, apapun itu, semoga kita tidak pernah saling menyakiti untuk alasan apapun. Saya senang kita bisa saling mengenal dan menemukan. Terima kasih, ka! 

Semoga hal-hal baik di antara kita tetap mengalir.

 



Terima kasih sudah mengirimkan surat yang indah, Ruth. Kita tahu, dunia sangat sakit hari-hari ini, tapi kita harus terus bergerak agar tak larut pada kondisi itu. 

Ruth, sebagai perempuan yang menempuh pendidikan sampai jenjang S2, pernah merasakan pahit-getir tinggal di Makassar dan Jakarta, berkunjung ke berbagai kota dan bertemu dengan banyak orang, mencari uang di media, saya cukup mengerti perasaanmu. 

Sama sepertimu, saya takut dengan ketertinggalan. Ruth, saya juga punya sejuta ambisi, target, dan cita-cita. Saya ingin mendapatkan gelar doktor sebelum berusia 30 tahun, saya ingin kuliah di luar negeri, menjadi dosen. Punya karir dan mapan di usia muda. Memiliki banyak uang sehingga saya bisa beli mobil yang canggih, dan makan makanan yang saya sukai setiap hari. Dengan seluruh capaian itu, orang-orang akan memperhitungkan saya. 

Tapi kemudian, Tuhan mengirim saya ke sebuah perjalanan panjang yang dimulai pada tahun 2016. Di tahun itu saya bertemu seorang perempuan. Namannya, Uun Nurcahyanti. Dia adalah perempuan yang mengajari saya banyak hal, Ruth. Dia yang membukakan pikiran saya tentang hidup dan segala hegemoninya. Dari sebuah kelas sederhana, beralaskan karpet tak bermerek, kami bercerita hidup. Sebuah kelas yang diberi nama Kelas Bahasa yang berjalan dari Senin hingga Sabtu, dimulai dari pukul 10-13.00. Kamu ingat buku "Selasa Bersama Morry"? Betul! Seperti tokoh laki-laki dalam novel itu yang selalu antusias bertemu professornya setiap hari Selasa, itulah yang saya rasakan setiap masuk ke Kelas Bahasa. Seorang guru yang mengajarkan, puisi, pasar, cinta, filosofi hidup, makanan, hingga hal yang paling remeh-temeh.  

Pencarian saya berlanjut, Ruth. 

Tahun 2017, saya diterima kuliah di UI sebagai mahasiswa S2 . Ingat, tahun itu kita juga bertemu di Tebet. Di kantor Locita.co bersama ka Yusran Darmawan dan tim lainnya. Saya sangat senang ngobrol dan bepergian denganmu. Ada rasa ingin bercerita banyak hal, tapi saat itu kondisi belum memungkinkan ngobrol banyak. 

Di Jakarta, saya menjelajah ke beberapa tempat baru yang biasanya hanya saya lihat di TV, terlebih ketika saya bertugas liputan. Saat kecil, saya selalu memimpikan bisa berkunjung ke Jakarta, Ruth. Di sana banyak artis, gedung tinggi yang berdiri megah, dan lampu-lampu. Sebuah tempat yang sangat ramai. Menempuh kuliah dan bekerja di Jakarta adalah pengalaman dan pembelajaran yang luar biasa. Mereka adalah bagian puzzle yang turut menyusun hidup saya. 

Tahun 2020, saya lulus kuliah, dan pandemi datang. Sejak saat itu, saya mengucap selamat tinggal pada Jakarta. Saya telah lulus dan sudah tak bekerja di sana. Saya tak lagi memiliki alasan untuk tinggal. Saya kemudian pulang ke rumah, Ruth. Jakarta telah memberikan saya tempat, pelukan, keramaian, sekaligus kesunyian. Terima kasih Jakarta, tapi saya harus pulang. 

Jika kamu tanya apakah rasa takut dan kekhawatiran yang membawa saya ke tempat nenek? Tentu, tidak hanya itu Ruth. Keputusan tinggal di sini adalah jawaban dari pencarian saya selama lima tahun. Saya tidak bisa menjabarkan secara keseluruhan, tapi kalau boleh saya sederhanakan jawabannya: Karena saya ingin menemukan jalan keselamatan itu. 

Bayangkan, selama 27 tahun hidup di dunia, secara terus-menerus, saya hanya mengambil apa yang disediakan alam dan sekitarnya. Makan, minum, memakai pakaian, berkendara, membeli hp, dan bahkan bernapas. Selama 27 tahun, saya tidak pernah sadar dan belajar mengembalikan apa yang telah diambil. Alih-alih, belajar mengembalikannya, kita bahkan sering tak punya adat/rasa hormat kepada alam dan segala yang ada di dalamnya. Kepada pakaian yang kita gunakan, kepada kasur yang setiap hari kita rebahkan badan, kepada tanaman yang telah memberi oksigen dan makanan. Saya bahkan tak pernah mau mengetahui, dari mana makanan saya hari ini. Bagaimana tanaman itu berjuang untuk tumbuh hingga berbuah? Bagaimana tanah dan rombongan cacing berbagi nutrisi kepada tanaman? Bagaimana para petani bekerja dan dibayar murah hasil panennya oleh para tengkulak dan peristiwa-peristiwa lainnya yang selalu ditempatkan terasing dalam pikiran kita. 

Kemudian, saya pergi ke rumah nenek. Saya melihat dia sedang nelakukan ritual maccera ase. Sebuah ritual yang diperuntukkan untuk para padi yang telah dipanen. Hati saya bergetar. Saya semakin menyadari, bagaimana nenek saya menghormati padi-padi yang ditanam dan dimakannya. Saya semakin sadar, begitu antroposentrisnya hidup ini. Betapa manusia merasa dirinya sebagai pusat sehingga punya kuasa mengeruk gunung, membakar hutan, dan mereklamasi laut. Ruth, itulah yang saya maksud di video itu, "kehidupan yang beradat-istiadat". Adat di kampung bukan untuk diromantisisasi agar terlihat seksi di mata media, tapi untuk kita belajar, bahwa manusia bukanlah pusat, kita adalah liyan di antara keliyanan yang lain. 

Sama sepertimu dan mungkin banyak orang yang sedang dalam pencarian, dulu, saya hanya mengagumi para petani, di saat yang sama, saya juga kasihan dengan keberlangsungan profesi petani yang tak memiliki penerus. Anak muda di kampung lebih tergiur mencari kerja di kota. Saya tak sedang menyalahkan para anak muda itu. Desa tak seindah yang ada di media, banyak ketimpangan yang terjadi dan menjadikan banyak orang berusaha mencari jalan hidup selain bertani.  

Ironisnya, di antara kekaguman dan rasa sedih itu, saya tidak siap menjadi petani, padahal saya punya lahan dan kampung. Punya penghasilan yang cukup selain bertani.  Ketika ditanya, apakah akan tinggal di kampung? Saya selalu menjawab, bahwa saya akan ke kampung ketika saya sudah mendapatkan banyak pengalaman, karir, dan jaringan di kota. Kampung adalah tempat untuk masa tua saya. Dan ternyata, prediksi itu melesat jauh. Haha. Di sini lah saya sekarang. Di sebuah tempat yang subur, indah, sekaligus dengan berbagai kompleksitas hidup, dan problematika yang meliputinya. 

Semoga kekagumanmu pada desa dan kampung berbuah harapan. Apakah burung-burung pipit bisa menjemput harapanmu untuk tinggal di desa dan mengirimkannya kepada bintang-bintang yang ada di langit-langit kamarmu? Semoga ya. 

Oh ya, kelak kalau punya uang lebih, sisipkan satu rencana di antara banyak rencanamu untuk melakukan perjalanan ke sini. 

Percayalah kunang-kunang dan bintang-bintang di kamarmu akan menuntunmu. 

Sebagai sebuah awal, saya punya ide menarik yang bisa kamu lakukan di rumah. Urban farming. Saya melihat postingan Andreas Harsono yang sedang asyik berkebun dan menyiram tanaman di balkon apartemennya di Jakarta. Kamu juga bisa memelihara kucing, oksigen, dan tanaman-tanaman di antara kepadatan Jakarta yang tak mengenal waktu. Wah! 


Tabo-Tabo, 02 Agustus 2020 

 


    Saya menyambut Agustus dengan duka. Juli menyisakkan luka tapi saya selalu ingat kata seorang guru, "katanya, hanya luka pintu menuju dewasa." Ini bukan awal Agustus yang terbaik, tapi saya suka surat. Salah satu sumber kebahagiaan saya ialah menerima surat dan berkirim surat. Dulu, saat patah hati dengan seorang laki-laki, teman perempuan mengirimi surat. Saya merasa setiap kata-kata dari surat itu adalah guyuran air yang menyirami hati saya yang gersang. Sangat dalam dan menyejukkan. 
   
     Tadi subuh, Banu berkirim surat, padalah baru saja, saya ingin memintanya berkirim surat setiap saya ulang tahun. Haha, ulang tahun saya masih 11 bulan lebih, tapi ini kabar baik. Banu berkirim surat lagi karena dia sedang berada dalam kondisi yang tidak baik, kondisi mentalnya menurun ketika dia mulai menghadapi banyak masalah. Saya pikir, sangat wajar ketika dia marah dengan kejadian itu. Dia mengaku, sulit mengontrol kemarahannya. Padahal, dengan meluapkan dan bercerita, sebenarnya dia sedang berusaha mengontrol rasa marahnya. Saya pikir, dia hanya butuh waktu, untuk kembali tenang dan memulai aktifitas yang lebih menyenangkan di rumah dan kantor. Berkebun bersama suaminya, Ben dan mendengarkan musik sebelum tidur.
   
     Saya selalu senang, setiap Banu bercerita tentang kehidupan pernikahannya dengan Ben. Luka yang dirasakan Banu di masa lalu mendewasakan hubungan mereka sebagai pasangan. Kata Banu, ketika ada masalah, mereka lebih memilih berpelukan dibandingkan memperdebatkannya. Setidaknya, saya bisa melihat potret rumah tangga yang bahagia dari banyak kisah sedih keluarga teman-teman saya. 
   
     Seorang teman bercerita tentang suaminya yang melakukan kekerasan fisik dan memakai narkoba. Teman saya sudah tidak bisa bertahan pada kondisi itu, tapi di saat ingin berpisah, keluarganya masih menyesalkan keputusannya: Kau yang memilih menikah dengan dia, kenapa sekarang mau cerai. 

Saya sungguh berharap mereka segera berpisah.
    
    Cerita teman saya seperti memvalidasi kekhawatiran saya pada pernikahan. Saya sedih mendengar ceritanya, tapi di sisi lain, saya merasa lega tidak memutuskan cepat-cepat menikah hanya karena tuntutan umur dan desakan budaya. Tentu, saya tidak perlu mempermasalahkan pernikahan, ini soal kesiapan dan bertemu orang yang tepat saja. Tapi, masalahnya apakah saya sudah siap? 
   
     Empat hari lalu, saya menerima berita yang lebih menyesakkan lagi. Suami sahabat saya, meninggal dunia karena covid. Sahabat saya, Linda, juga menikah muda. Di usia yang seperti saya, dia sudah punya tiga anak. Seminggu lalu, ia lahiran anak ketiga dan sang suami tidak pernah melihat anak itu sampai ajal menjemputnya sebab suaminya lebih dulu terbaring di ICU. 
    
    Ada rasa sakit sekaligus ngilu mendapat kabar itu. Seperti, saya tidak dapat membayangkan, bagaimana Linda menjalani malam-malamnya. Terbangun dengan rasa sedih yang menumpuk-numpuk, tapi di saat yang sama dia harus tegar, tak boleh rapuh di depan anak-anaknya. 
    
    Kondisi saya saat ini, mungkin lebih baik. Saya punya banyak kekhawatiran dan rasa takut juga. Setiap orang berperang dengan dirinya masing-masing. Saya tidak tahu mengapa saya sulit menceritakan masalah dan rasa sakit pada orang lain. Barangkali, karena saya masih sulit menerima kesakitan itu. Entahlah. 

    Ini Agustus yang tidak begitu menguntungkan, bagi banyak orang. Ini klise, tapi kita belum punya alasan untuk tidak bersyukur sebab masih bisa diberi rasa dan pikiran. Tuhan membiarkan kita hidup hari ini, meski air mata saya belum kering sejak semalam. Saya tidak punya masalah berarti beberapa waktu ini, tapi sejak semalam ada kesedihan yang memanggil-manggil. Tapi, saya mulai sadar, bukannya saya punya hari-hari yang menyenangkan dan harus saya syukuri. Besok saya bertemu nenek dan dia akan mengajarkan doa-doa dalam bahasa Bugis. Di sore hari, saya bisa naik sepeda bersama sepupu. Di waktu lain, saya bisa ke kebun, bertemu sayuran, gunung, sapi, sungai kecil di pinggir sawah nenek. Saya mulai memejamkan mata dan memintanya segera terlelap. Tapi, kemudian sebuah mimpi buruk membangunkan saya. Lalu, beberapa saat kemudian, saya menerima surat dari Banu. 

    Saya belum mau mengutuki hidup. Saya masih ingin memperjuangkan hidup ini apapun kondisinya. Dengan berani dan yakin!

    Halo mba, lama banget kita tidak ngobrol. Ada banyak hal yang terjadi sepulang saya dari Jakarta. Saya masih sering memerhatikan sosial mediamu. Sepintas terlihat baik dan sehat. Tentu, saya berharap begitu adanya.

    Saat ini, saya tinggal di Pangkep. Di sebuah desa kecil di Sulawesi Selatan. Namanya, desa Tabo-Tabo. Saya memutuskan pindah ke sini untuk menemani nenek yang tinggal sendiri di rumahnya. Dia adalah nenek perkasa, mirip neneknya Moana. Jalannya cepat, tubuhnya agak gempal dan bungkuk. Saya selalu senang mengobrol banyak dengannya karena ia punya ketegaran luar biasa. Ia juga selalu mengajari bacaan dan doa dalam bahasa Bugis. Saya sungguh mencintainya. Kami tinggal di tempat yang masih sangat desa. Masih asri dan sejuk. Kalau saja, tak ada pabrik semen dan marmer, kampung itu pasti berkali-kali lipat lebih dingin. Halaman rumahnya sangat luas. Dia punya sawah dan kebun dan ternak. Ada sapi dan ayam. Sekarang, saya ikut nanam beragam bunga di pekarangannya. Bunga-bunga untuk hiasan, juga jenis bunga yang bisa diseduh menjadi teh. Ada tanaman lain juga sih. Hari Sabtu nanti, kami berencana menanam empon-emponan dan makanan pokok di kebun nenek seperti singkong, bersama teman-teman yang tinggal di Makassar. Jarak dari Makassar ke desa nenek hanya dua jam. 

    Nenek saya punya empat anak, tiga anaknya PNS, anak tertuanya adalah Ibu saya. Satu anak laki-lakinya melanjutkan bertani. Tapi, pertanian bagi mereka bukan sebuah nasib baik. Pupuk, bibit harus dibeli dengan harga yang mahal. Sangat sedikit pemuda yang mau bersawah, nenek yang sudah janda sangat kesusahan mengurusi sawahnya karna tidak ada penggarap. Anak muda lebih memilih menjadi karyawan perusahaan semen dan marmer dengan gaji dan bonus yang jelas setiap bulan. Belum lagi, kalau panen, beras dibeli murah oleh tengkulak. Saya yang sekolah tinggi-tinggi, yang selalu dibanggakan orang-orang desa seharusnya bisa menjelaskan kalau bertani sama halnya dengan memberdayakan bumi Tuhan. Siapapun yang menekuninya harusnya bisa lebih mudah hidupnya. Kalau tak ada yang berpikir begitu, tidak ada yang akan bertani, kita mau makan apa? Manusia menghirup apa? 

    Nenek saya selalu bilang, bahwa dia menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi supaya mereka tidak menjadi petani susah seperti dirinya. Duh, sungguh miris mendengarnya. Penguasa melumpuhkan para petani, makanya yang sudah hidup bertahun-tahun dengan menjadi petanipun, berluhurkan petani, juga masih mengutuki hidupnya. Sepertinya, saya harus tahu ilmu bercocok tanam yang baik, sehingga menanam pada akhirnya tidak hanya untuk menyuapi mulut orang-orang yang tak pernah merasa cukup. Mereka membeli hasil pertanian dengan harga yang sangat murah dari cucuran dan keringat dan kepolosan para petani, lalu menjualnya dengan harga yang sangat mahal kepada para elit. Mungkin, orang-orang yang sekolahnya tinggi sampai ke luar negeri sudah harus turun, agar para tengkulak lebih segan saat memberi harga. Biar kita tidak dibodoh-bodohi terus-menerus. 

    Cerita lainnya, saya baru saja membuat kombucha jahe dan kunyit. Minuman ini bisa jadi pengganti minuman f*nta atau spri*e yang kadar gulanya sangat tinggi. Kombucha punya rasa khas, bersoda, dan bagus untuk tubuh, utamanya pencernaan. Rasanya sangat enak dan saya ingin sekali kamu mencicipi kombucha hasil racikan tangan saya. 

    Saat ini, saya sedang berikhtiar nemulai hidup sehat dengan mengatur pola makan. Saya mau membuat minyak kelapa atau vco agar saat mengonsumsi goreng-gorengan ya tetap sehat, apalagi disini banyak kelapa. Ayam potong diganti dengan ayam kampung. Banyak minum air putih, mengganti obat dokter menjadi herbal dan alhamdulillah Bapak saya yang sejak lama mengidap penyakit maagh, perlahan kembali normal setelah mengonsumsi obat herbal dari pondok. Saya juga sering meracik wedang kedawan untuk Ibu. Wedang kedawan ditambah dengan daun salam karena Ibu punya kolestrol dan asam urat. 

    Bahan masakan sehari-hari masih lebih banyak yang dibeli. Suatu hari, doain ya, kalau saya mau masak, semuanya tinggal dipetik di kebun. Kalau kamu datang ke sini, kita bisa melakukan perjamuan makan yang sakral. Haha.  

    Oh iya, tadi sore, kami memetik kopi di kebun dan pekarangan rumah. Kata nenek, agar mudah diolah, sebelum dikeringkan, kulitnya dipecahkan dulu. Cara seperti itu memudahkan saat ditumbuk karena bijinya sudah sangat kering. 



    Semoga surat ini dapat menjadi kabar baik di hari ulang tahunmu dan saya akan selalu berdoa untuk kebahagiaan dan keselamatanmu. Selamat ulang tahun mbak. Sampai jumpa di mana saja. 

Beranda

Ais Al-Jum'ah

Membaca dan menanam.

POPULAR POSTS

  • Bercerita Laut
  • Lebih Jauh dari Eksotisisasi Mistisme Timur: Review Buku "Parade Hantu Siang Bolong"
  • TRAGEDI LORONG JANDA
  • Wa Sarimba
  • Laboratorium Kecil Persembahan dari Ibu
  • Catatan-Catatan yang Tertinggal di 2022
  • Setelah Malam itu ...
Diberdayakan oleh Blogger.

Category

  • bercerita
  • laut
  • nusantara

Wa Sarimba

  Ilustrasi: Ais Nurbiyah      Nenek membuka tas merah dan menghitung kembali uang yang telah disiapkan untuk membeli lemari pendingin (kulk...

Followers

Cari Blog Ini

Blog Archive

  • Desember 2024 (1)
  • Maret 2024 (1)
  • Juli 2023 (1)
  • Maret 2023 (1)
  • Januari 2023 (2)
  • Desember 2021 (1)
  • Agustus 2021 (2)
  • Juni 2021 (1)

Category

  • bercerita
  • laut
  • nusantara

Halaman

  • Beranda

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates