Tentang Buku dan Kampung Halaman

Jika kautanya mauku kini, kujawab: jadi petani. Membalik, menggembur, mencangkul tanah dalam diri. (Sajak Berpilin)

 



Terima kasih sudah mengirimkan surat yang indah, Ruth. Kita tahu, dunia sangat sakit hari-hari ini, tapi kita harus terus bergerak agar tak larut pada kondisi itu. 

Ruth, sebagai perempuan yang menempuh pendidikan sampai jenjang S2, pernah merasakan pahit-getir tinggal di Makassar dan Jakarta, berkunjung ke berbagai kota dan bertemu dengan banyak orang, mencari uang di media, saya cukup mengerti perasaanmu. 

Sama sepertimu, saya takut dengan ketertinggalan. Ruth, saya juga punya sejuta ambisi, target, dan cita-cita. Saya ingin mendapatkan gelar doktor sebelum berusia 30 tahun, saya ingin kuliah di luar negeri, menjadi dosen. Punya karir dan mapan di usia muda. Memiliki banyak uang sehingga saya bisa beli mobil yang canggih, dan makan makanan yang saya sukai setiap hari. Dengan seluruh capaian itu, orang-orang akan memperhitungkan saya. 

Tapi kemudian, Tuhan mengirim saya ke sebuah perjalanan panjang yang dimulai pada tahun 2016. Di tahun itu saya bertemu seorang perempuan. Namannya, Uun Nurcahyanti. Dia adalah perempuan yang mengajari saya banyak hal, Ruth. Dia yang membukakan pikiran saya tentang hidup dan segala hegemoninya. Dari sebuah kelas sederhana, beralaskan karpet tak bermerek, kami bercerita hidup. Sebuah kelas yang diberi nama Kelas Bahasa yang berjalan dari Senin hingga Sabtu, dimulai dari pukul 10-13.00. Kamu ingat buku "Selasa Bersama Morry"? Betul! Seperti tokoh laki-laki dalam novel itu yang selalu antusias bertemu professornya setiap hari Selasa, itulah yang saya rasakan setiap masuk ke Kelas Bahasa. Seorang guru yang mengajarkan, puisi, pasar, cinta, filosofi hidup, makanan, hingga hal yang paling remeh-temeh.  

Pencarian saya berlanjut, Ruth. 

Tahun 2017, saya diterima kuliah di UI sebagai mahasiswa S2 . Ingat, tahun itu kita juga bertemu di Tebet. Di kantor Locita.co bersama ka Yusran Darmawan dan tim lainnya. Saya sangat senang ngobrol dan bepergian denganmu. Ada rasa ingin bercerita banyak hal, tapi saat itu kondisi belum memungkinkan ngobrol banyak. 

Di Jakarta, saya menjelajah ke beberapa tempat baru yang biasanya hanya saya lihat di TV, terlebih ketika saya bertugas liputan. Saat kecil, saya selalu memimpikan bisa berkunjung ke Jakarta, Ruth. Di sana banyak artis, gedung tinggi yang berdiri megah, dan lampu-lampu. Sebuah tempat yang sangat ramai. Menempuh kuliah dan bekerja di Jakarta adalah pengalaman dan pembelajaran yang luar biasa. Mereka adalah bagian puzzle yang turut menyusun hidup saya. 

Tahun 2020, saya lulus kuliah, dan pandemi datang. Sejak saat itu, saya mengucap selamat tinggal pada Jakarta. Saya telah lulus dan sudah tak bekerja di sana. Saya tak lagi memiliki alasan untuk tinggal. Saya kemudian pulang ke rumah, Ruth. Jakarta telah memberikan saya tempat, pelukan, keramaian, sekaligus kesunyian. Terima kasih Jakarta, tapi saya harus pulang. 

Jika kamu tanya apakah rasa takut dan kekhawatiran yang membawa saya ke tempat nenek? Tentu, tidak hanya itu Ruth. Keputusan tinggal di sini adalah jawaban dari pencarian saya selama lima tahun. Saya tidak bisa menjabarkan secara keseluruhan, tapi kalau boleh saya sederhanakan jawabannya: Karena saya ingin menemukan jalan keselamatan itu. 

Bayangkan, selama 27 tahun hidup di dunia, secara terus-menerus, saya hanya mengambil apa yang disediakan alam dan sekitarnya. Makan, minum, memakai pakaian, berkendara, membeli hp, dan bahkan bernapas. Selama 27 tahun, saya tidak pernah sadar dan belajar mengembalikan apa yang telah diambil. Alih-alih, belajar mengembalikannya, kita bahkan sering tak punya adat/rasa hormat kepada alam dan segala yang ada di dalamnya. Kepada pakaian yang kita gunakan, kepada kasur yang setiap hari kita rebahkan badan, kepada tanaman yang telah memberi oksigen dan makanan. Saya bahkan tak pernah mau mengetahui, dari mana makanan saya hari ini. Bagaimana tanaman itu berjuang untuk tumbuh hingga berbuah? Bagaimana tanah dan rombongan cacing berbagi nutrisi kepada tanaman? Bagaimana para petani bekerja dan dibayar murah hasil panennya oleh para tengkulak dan peristiwa-peristiwa lainnya yang selalu ditempatkan terasing dalam pikiran kita. 

Kemudian, saya pergi ke rumah nenek. Saya melihat dia sedang nelakukan ritual maccera ase. Sebuah ritual yang diperuntukkan untuk para padi yang telah dipanen. Hati saya bergetar. Saya semakin menyadari, bagaimana nenek saya menghormati padi-padi yang ditanam dan dimakannya. Saya semakin sadar, begitu antroposentrisnya hidup ini. Betapa manusia merasa dirinya sebagai pusat sehingga punya kuasa mengeruk gunung, membakar hutan, dan mereklamasi laut. Ruth, itulah yang saya maksud di video itu, "kehidupan yang beradat-istiadat". Adat di kampung bukan untuk diromantisisasi agar terlihat seksi di mata media, tapi untuk kita belajar, bahwa manusia bukanlah pusat, kita adalah liyan di antara keliyanan yang lain. 

Sama sepertimu dan mungkin banyak orang yang sedang dalam pencarian, dulu, saya hanya mengagumi para petani, di saat yang sama, saya juga kasihan dengan keberlangsungan profesi petani yang tak memiliki penerus. Anak muda di kampung lebih tergiur mencari kerja di kota. Saya tak sedang menyalahkan para anak muda itu. Desa tak seindah yang ada di media, banyak ketimpangan yang terjadi dan menjadikan banyak orang berusaha mencari jalan hidup selain bertani.  

Ironisnya, di antara kekaguman dan rasa sedih itu, saya tidak siap menjadi petani, padahal saya punya lahan dan kampung. Punya penghasilan yang cukup selain bertani.  Ketika ditanya, apakah akan tinggal di kampung? Saya selalu menjawab, bahwa saya akan ke kampung ketika saya sudah mendapatkan banyak pengalaman, karir, dan jaringan di kota. Kampung adalah tempat untuk masa tua saya. Dan ternyata, prediksi itu melesat jauh. Haha. Di sini lah saya sekarang. Di sebuah tempat yang subur, indah, sekaligus dengan berbagai kompleksitas hidup, dan problematika yang meliputinya. 

Semoga kekagumanmu pada desa dan kampung berbuah harapan. Apakah burung-burung pipit bisa menjemput harapanmu untuk tinggal di desa dan mengirimkannya kepada bintang-bintang yang ada di langit-langit kamarmu? Semoga ya. 

Oh ya, kelak kalau punya uang lebih, sisipkan satu rencana di antara banyak rencanamu untuk melakukan perjalanan ke sini. 

Percayalah kunang-kunang dan bintang-bintang di kamarmu akan menuntunmu. 

Sebagai sebuah awal, saya punya ide menarik yang bisa kamu lakukan di rumah. Urban farming. Saya melihat postingan Andreas Harsono yang sedang asyik berkebun dan menyiram tanaman di balkon apartemennya di Jakarta. Kamu juga bisa memelihara kucing, oksigen, dan tanaman-tanaman di antara kepadatan Jakarta yang tak mengenal waktu. Wah! 


Tabo-Tabo, 02 Agustus 2020 

 


    Saya menyambut Agustus dengan duka. Juli menyisakkan luka tapi saya selalu ingat kata seorang guru, "katanya, hanya luka pintu menuju dewasa." Ini bukan awal Agustus yang terbaik, tapi saya suka surat. Salah satu sumber kebahagiaan saya ialah menerima surat dan berkirim surat. Dulu, saat patah hati dengan seorang laki-laki, teman perempuan mengirimi surat. Saya merasa setiap kata-kata dari surat itu adalah guyuran air yang menyirami hati saya yang gersang. Sangat dalam dan menyejukkan. 
   
     Tadi subuh, Banu berkirim surat, padalah baru saja, saya ingin memintanya berkirim surat setiap saya ulang tahun. Haha, ulang tahun saya masih 11 bulan lebih, tapi ini kabar baik. Banu berkirim surat lagi karena dia sedang berada dalam kondisi yang tidak baik, kondisi mentalnya menurun ketika dia mulai menghadapi banyak masalah. Saya pikir, sangat wajar ketika dia marah dengan kejadian itu. Dia mengaku, sulit mengontrol kemarahannya. Padahal, dengan meluapkan dan bercerita, sebenarnya dia sedang berusaha mengontrol rasa marahnya. Saya pikir, dia hanya butuh waktu, untuk kembali tenang dan memulai aktifitas yang lebih menyenangkan di rumah dan kantor. Berkebun bersama suaminya, Ben dan mendengarkan musik sebelum tidur.
   
     Saya selalu senang, setiap Banu bercerita tentang kehidupan pernikahannya dengan Ben. Luka yang dirasakan Banu di masa lalu mendewasakan hubungan mereka sebagai pasangan. Kata Banu, ketika ada masalah, mereka lebih memilih berpelukan dibandingkan memperdebatkannya. Setidaknya, saya bisa melihat potret rumah tangga yang bahagia dari banyak kisah sedih keluarga teman-teman saya. 
   
     Seorang teman bercerita tentang suaminya yang melakukan kekerasan fisik dan memakai narkoba. Teman saya sudah tidak bisa bertahan pada kondisi itu, tapi di saat ingin berpisah, keluarganya masih menyesalkan keputusannya: Kau yang memilih menikah dengan dia, kenapa sekarang mau cerai. 

Saya sungguh berharap mereka segera berpisah.
    
    Cerita teman saya seperti memvalidasi kekhawatiran saya pada pernikahan. Saya sedih mendengar ceritanya, tapi di sisi lain, saya merasa lega tidak memutuskan cepat-cepat menikah hanya karena tuntutan umur dan desakan budaya. Tentu, saya tidak perlu mempermasalahkan pernikahan, ini soal kesiapan dan bertemu orang yang tepat saja. Tapi, masalahnya apakah saya sudah siap? 
   
     Empat hari lalu, saya menerima berita yang lebih menyesakkan lagi. Suami sahabat saya, meninggal dunia karena covid. Sahabat saya, Linda, juga menikah muda. Di usia yang seperti saya, dia sudah punya tiga anak. Seminggu lalu, ia lahiran anak ketiga dan sang suami tidak pernah melihat anak itu sampai ajal menjemputnya sebab suaminya lebih dulu terbaring di ICU. 
    
    Ada rasa sakit sekaligus ngilu mendapat kabar itu. Seperti, saya tidak dapat membayangkan, bagaimana Linda menjalani malam-malamnya. Terbangun dengan rasa sedih yang menumpuk-numpuk, tapi di saat yang sama dia harus tegar, tak boleh rapuh di depan anak-anaknya. 
    
    Kondisi saya saat ini, mungkin lebih baik. Saya punya banyak kekhawatiran dan rasa takut juga. Setiap orang berperang dengan dirinya masing-masing. Saya tidak tahu mengapa saya sulit menceritakan masalah dan rasa sakit pada orang lain. Barangkali, karena saya masih sulit menerima kesakitan itu. Entahlah. 

    Ini Agustus yang tidak begitu menguntungkan, bagi banyak orang. Ini klise, tapi kita belum punya alasan untuk tidak bersyukur sebab masih bisa diberi rasa dan pikiran. Tuhan membiarkan kita hidup hari ini, meski air mata saya belum kering sejak semalam. Saya tidak punya masalah berarti beberapa waktu ini, tapi sejak semalam ada kesedihan yang memanggil-manggil. Tapi, saya mulai sadar, bukannya saya punya hari-hari yang menyenangkan dan harus saya syukuri. Besok saya bertemu nenek dan dia akan mengajarkan doa-doa dalam bahasa Bugis. Di sore hari, saya bisa naik sepeda bersama sepupu. Di waktu lain, saya bisa ke kebun, bertemu sayuran, gunung, sapi, sungai kecil di pinggir sawah nenek. Saya mulai memejamkan mata dan memintanya segera terlelap. Tapi, kemudian sebuah mimpi buruk membangunkan saya. Lalu, beberapa saat kemudian, saya menerima surat dari Banu. 

    Saya belum mau mengutuki hidup. Saya masih ingin memperjuangkan hidup ini apapun kondisinya. Dengan berani dan yakin!

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Ais Al-Jum'ah

Membaca dan menanam.

POPULAR POSTS

  • Bercerita Laut
  • Lebih Jauh dari Eksotisisasi Mistisme Timur: Review Buku "Parade Hantu Siang Bolong"
  • TRAGEDI LORONG JANDA
  • Wa Sarimba
  • Laboratorium Kecil Persembahan dari Ibu
  • Catatan-Catatan yang Tertinggal di 2022
  • Setelah Malam itu ...
Diberdayakan oleh Blogger.

Category

  • bercerita
  • laut
  • nusantara

Followers

Cari Blog Ini

Blog Archive

  • Desember 2024 (1)
  • Maret 2024 (1)
  • Juli 2023 (1)
  • Maret 2023 (1)
  • Januari 2023 (2)
  • Desember 2021 (1)
  • Agustus 2021 (2)
  • Juni 2021 (1)

Category

  • bercerita
  • laut
  • nusantara

Halaman

  • Beranda

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates